Blogger Tricks

MATANYA

Wednesday, February 28, 2007

Islam Visioner & Perkaderan HMI


1:06 PM |

Ahmad Ribhan

Tulisan ini dibuat sebagai Refleksi Temu Korp Pengader Nasional II di Semarang-Ambarawa, 27-29 juni 1997. Dalam uraian ini, sang penulis mengungkapkan beberapa ide yang mencuat pada pelaksanaan TKPN dan masih kontekstual dalam realitas perkaderan HMI hari ini

Islam adalah agama, sistem etika, pranata sosial-politik, pendidikan dan kebudayaan. Ber-Islam adalah motivasi dan cita-cita untuk mewujudkan nilai-nilai dasar yang men­jadikan manusia dan masyarakat memu­liakan dan dimuliakan, menuju tatanan sosial yang adil dan mandiri.

Ideal-ideal ini tersebut menjadi tujuan HMI, yang dirumuskan dalam dua konsep kunci: Ulul albab dan masyarakat yang diridloi Allah. Dari siniIah ideologi HMI dirumuskan, disamping dari tafsirnya atas realitas kemasyarakatan dalam seluruh di­mensinya. Hubungan idealitas dan realitas ini terjadi dalam keadaan bergerak, berpro­ses, tumbuh terus-menerus, singkatnya dialektika.

Sejalan dengan fitrah manusia dan masyarakat untuk terus turnbuh, realitas cenderung menampakkan perubahan. Arahnya tidak selalu satu, tidak selalu memusat bahkan lehih sering menyehar.

Mengingat manusia adalah makhluk yang bebas dan berkehendak, perubahan merupakan dialektika manusia dan lingkungannya, manusia dengan sesamanya, cira-cita dan keadaan yang mendikte, transen­densi dan imanensi dari manusia, baik secara individual maupun kolektif. Itulah sebabnya mengapa terdapat demikian banyak varia­bel dan dimensi sehingga perubahan dapat menuju pada konflik dan benturan pera­daban dalam seluruh bentuknya dan pihak­-pihak yang terlibat dan atau dilibatkan.

Kenyataan "tetap" dan "berubah" adalah sebuah paradigma yang kini banyak digunakan untuk menjelaskan banyak entitas. Islam sebagai agama dan ideologi pun dipahami demikian. Ada aspek ajaran yang bersifat tetap dan bersifat berubah, atau boleh dirubah, bahkan direncanakan harus berubah. Jika kita tetap pada satu kutub, maka sesungguhnya kita terbelenggu, terjebak kejumudan, bahkan kehi!angan (martabat) kemanusiaan, demikian pula sebaliknya.

Secara klasik yang tetap dari ajaran Islam adalah Tauhid, Selebihnya lain soal. Dalam bahasa neo-modemisme, yang tetap adalah nilai-nilai dasar, sejalan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan kemasyarakatan, meliputi kemerdekaan (kebebasan), keadilan, toleransi (pluralitas), dan perda­maian, dll. Inilah yang dimaksud Tauhid dalam arti esoteris dan dalam bentuk sistem­etika internasional atau primordial-univer­sal. Semua ditemukan dalam bentuk perjalanan manusia dalam waktu dan lokasi. Al-Qur'an mengujarkannya dalam bentuk kisah-kisah yang memiliki dan mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan; visi metafisik dan empirik, visi transenden dan imanen. Sebuah cara belajar yang amat mempertim­bangkan fenomena atau peristiwa yang kecl dan pinggiran, atau dapat menjadi entry point untuk menjadi bijaksana atau dinamika yang sehat.

Jika kita urut dari uraian diatas, sebuah visi lahir dari sebuah cara berfikir, cara merasa dan metodologi tertentu. Kaitannya dengan kritik-kritik terhadap HMI, baik oleh orang-dalam maupun orang-luar, tampak tema “pembebasan” bergaung di sebagian HMI Cabang, baik sebagai wacana maupun sikap politik. Pembebasan dari kejumudan berfikir, ketidakadilan perla­kuan pemerintah terhadap rakyat, dari ideologisasi-pengetahuan rakyat Indonesia oleh kebijakan pemerintah dan militer, dan seterusnya.

Apa hubungan elit politik santri dalam birokrasi dan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi belakangan ini (?), adalah sebuah pertanyaan dan otokritik bagi umat Islam, yang meski merupakan pertanyaan jebakan pihak non-Islam, tetapi menyadarkan kita atas seberapa jauh komitmen dan pemberda­yaan kira terhadap umat, disamping memberi kesadaran bahwa ada yang kurang/salah dalam cara pandang kita terhadap perubahan sosia.

Secara internal muncul pertanyaan apakah hubungan antara pengader dan kader juga mengambil pola komunikasi seperti diatas: tidak menyadari dan mengoreksi re­lasi kuasa/pengetahuan, dan cenderung menyembunyikan kepentingan-kepen­tingan tertentu baik disadari atau tidak; pa­ling tidak hal ini nampak atau dipresen­tasikan dalam bentuk pendekatan training yang dianggap masih saja menyisakan praktek idelogis-dogmatis terhadap subyek didik, atau senioritas absolut dalam segala kegiatan.

Terasa ada diskontinuitas idealita Islam dan realita sosio-kultural dan sosio-politik HMI, diskontinuitas hubungan HMI dan masyarakat di luar; sebuah kegamangan tentang apakah HMl mampu berperan langsung dalam wacana umum, dalam mengalami proses kemasyarakatan secara alamiah, bergerak bersama dengan organisasi kerakyatan atau organisasi mahasiswa dan organisasi-keagamaan yang melibatkan masyarakat sebagai sasaran kegiatannya. Belum lagi jika mempertimbangkan faktor psikologis beban-sejarah HMI masa lalu yang sarat dengan aktifitas sosial-politik dan sosial­budaya (romantisme gerakan).

Disini pokok persoalannya ialah apakah ajaran Islam telah diterjemahkan HMI berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Ini adalah masalah pendekatan, metodologi dan sistem etika kemasyarakatan.

Secara khusus terdapat nuansa dari Temu Nasional Korp Pengader di Semarang, tuntutan atas kejelasan makna dan kerangka yang lebih operasional dari tujuan HMI, terutama dalam konteks dan praktek perkaderan. Disinilah epistemologi dan kajian peradaban harus mendapatkan bentuknya yang konkrit; sebagai sebuah pisau analisa dan tradisi riset serta penyebaran hasil-hasilnya, dan upaya kritis untuk mewarnai masyarakat. Sebuah tradisi yang hidup dan terus tumbuh dengan motivasi transendental. Pendek kata, Islam haruslah transformatif, missi kenabian dan semangat profetik harus menjadi semangat zaman ini; sikap ber-Islam tereksternalized dalam sikap pembelaan dan pembebasan diri dan masvarakat dari semua keterbelengguan dari ketidakadilan.

Masyarakat ldeal : Apa Konsep HMI?
Dalam dokumen HMI memang tidak terdapat penjelasan yang luas dari apa itu masyarakat yang diridloi Allah (sebnjutnya kita sebut: masyarakat ideal). kecuali sedikit dalam khittah HMI, bab asas dan tujuan. Se­jumlah kriteria dari masyarakat-ideal me­mang disebut didalamnya, tapi kriteria ini tidak bisa disebut sebagai prinsip-prinsip masyarakat-ideal. Tidak dapat disebut prinsip, karena kriteria masih berada dalam dataran normatif-subyektif, belum dirumus­kan secara empirik-obyektif. Disinilah gu­nanya epistemologi dan kajian peradaban. Tetapi mungkin saja masalahnya belum dipahami dan operasionalnya epistemologi dan kajian peradaban dalam tradisi HMl.

Mengingat kesulitan ini ada baiknya jika penyebutan atas tema ini mendapat sinonim atau asosiasi yang lebih jelas dan operasonal, misalkan tradisi berpikir kritis, riset, merancang transformasi sosial, atau menyusun strategi kebudayaan, keseim­bangan berfikir esoteris dan eksoteris, dan lain-lain. Sehingga demokrasi, adalah hu­bungan normativitas dan empirisitas, hubungan Islam dan masyarakat (termasuk individu). Karena itu paling tidak kita mengerti konsep-konsep Islam tentang ummat, amanah, sunnah, ijma', musya­warah, kekuasaan, toleransi dan lain-lain, dan mengerti sifat dan perkembangan reali­tas masyarakat. Yang pertama memberi arahan-etis dan motivasi-rekayasa atas masya­rakat dalam seluruh lapisan masyarakatnya. Jadi penghubung Islam dan Masyarakat adalah sistem etika masyarakat. Inilah bagian terbesar dari isi sebuah ideologi.

Jika HMI bisa dianggap sebagai minia­tur sebuah masyarakat, maka selain ia harus berproses seperti masyarakat, melainkan ia memiliki konsep clan model-model transfor­masi masyarakat yang sejalan dengan ideo­loginya. Jadi ideologi tidak hanya berisi nor­ma-norma teologis-filosofis, tetapi dengan epistemologinya ia merumuskan dan meng­gunakan model transformasi masyarakatnya untuk mencapai kepentingan politiknya.

Reduksi Perkaderan
Dokumen HMI menyebutkan bahwa perkaderan adalah upaya sistematis mencapai tujuan HMI melalui (cara) pendidikan umum dan khusus, kegiatan, dan jaringan. Tetapi disinyalir perkaderan telah menga­lami penyempitan makna dalam prakteknya, disamping sejumlah masalah lain. Meski be­gitu sebagian menganggap tidak terdapat permasalahan serius dalam perkaderan HMI, terutama dalam hal konseptualisasinya, kecuali persoalan managerial semata, misal­nya kurangnya frekuensi SC, kurang mera­tanya penurunan atau penugasan para penga­der dalam pemenuhan kebutuhan training, kurang optimalnya fungsi KPC dalam me­ningkatkan kualitas pengader, dan kurang harmonisnya hubungan pengurus KPC dan pengurus HMI cabang.

Namun demikian, terdapat tuntutan yang kuat untuk menghubungkan perkaderan HMI dengan masalah dan proses ke­masyarakatan secara lebih konkrit. Sejum­lah pertanyaan yang sudah dikemukakan diatas disamping menunjukkan kenyataan ini, juga menyadarkan kita akan tingkat perubahan posisi dan kebutuhan sosio­-budaya dan sosio-politik HMl. Kebutuhan akan sebuah visi “baru”!

Penyempitan makna perkaderan ini ditunjukkan dengan adanya: 1) Training dianggap model paling penting dalam perkaderan HMl, menjadi kegiatan utama dan pokok, bahkan di beberapa komisariat cenderung menjadi satu-satunya kegiatan organisatoris. 2) Relevansinva dengan kebutuhan-pragmatis gerakan-sosial diper­tanyakan, sehubungan dengan upaya mem­pengaruhi transformasi sosial dalam ben­tuknya yang nyata. Singkatnya perkaderan HMI tidak lagi transformatif, sehingga tidak mendorong dan menjamin kader berperan di masyarakat umum. 3) Dalam konteks masyarakat industrial dan modern, sejumlah keahlian dan profesionalitas amat dibutuhkan secara merata di HMI, seperti jurnalistik, riset, politik, advokasi, seni­ budaya, dan jaringan kelembagaan. Tentu saja dalam jumlah kecil kegiatan HMI yang membutuhkan keahlian diatas tdah ada, namun menjadi kurang penting dihadapan kegiatan-training umum. Memang kita memiliki training-khusus, tetapi hanya sebagai pendukung bagi training-umum: menyiapkan pengader. Ada pula training ­ekstern, sebuah training politik, yang memberi wawasan politik bagi kader, namun tidak diarahkan pada keahlian khusus, seperti riset politik, atau penggiat politik, advokat politik, atau lainnya; hanya sekedar wawasan. 4) Penunggalan tema HMI: intelektual. Epistemologi dan peradaban menjadi jargon dan tema utama dalam hampir seluruh forum, baik pada latihan dan training maupun diskusi-diskusi umum. Sementara itu infra-struktur bagi intelektual seperti bahasa asing, riset, jurnalistik, dan pilot-project-nya tidak begitu mendapat perhatian dan pelatihan; seakan-akan, akibat­nya, terdapat hambatan struktural bagi penyaluran minat kader di bidang ini. Akibat langsung dari penunggalan tema intelektual ini adalah kurang berkembangnya tema dan kerja lain baik dalam penumbuhan minat ­kreativitas kader maupun penyusunan program.

Kesenjangan tema dan kesiapan infra-struktur ini cenderung menyebabkan kita memiliki kemampuan yang tanggung atau tidak profesional secara intelektual; dan oleh sementara pihak disebut menafikan keragaman potensi kader. Dalam dataran per­cabang, keadaan ini menjadikan potensi masing-masing cabang tidak optimal dalam pengungkapan program dan perjuangannya, kurang terdifferensi, dan serba peyeragaman. Padahal justru ini wilavah dinamis, wilayah dimana masing-masing cabang memiliki kekhasan tantangan kultural dan struktural. termasuk peluangnya. Dalam konteks inilah masing-masing cabang membutuhkan dan menuntut identitas-diri , kekhususan yang dapat menjadi spesialisasi keahlian dirinya dan medan perjuangannya; hal ini jika ditolerir akan berpengaruh pada kebutuhan dan pertumbuhan training-training khusus. Jika keragaman potensi tiap cabang, secara mikro potensi tiap kader, diterjemahkan dalam lembaga kekaryaan atau badan khusus (apa perbedannya?), maka training-training khusus ini akan menjadi wilayah yang secara proporsional lebih baik ditangani oleh lembaga kekaryaan ini, seperti LAPMI, LEMI, LDMI, dan lain-lain.

Pada konteks per-cabang, mungkin sebaiknya praktek perkaderan merupakan otonomi cabang dalam hal-hal atau kebutuhan khsusus. Dalam soal pelaksanaan training, kritikan yang ditimpakan adalah pendekatan yang digunakan, tertama pada kasus LK-I, masih bersifat ideologis-dogmatis. Demikian pula hubungan senior dan yunior, paling tidak dalam perasaan banyak orang. Sehingga usulan kesehatannya ialah dengan kembali pada tuntunan dokumen perkaderan yaitu partisipatit atau partisipatoris. Juga sebagai apresiasi terhadap usulan model dinamic group.

Pada kasus hubungan senior dan yunior yang kurang sehat, ini juga berkaitan dengan kritik-kritik terhadap pengader, yaitu pengader dianggap serba tahu, model senior satu-satunya, dan beban yang ditimpakan pada mereka: mereka diharapkan dapat bicara apa saja; sehingga terjadi tumpang tindih pengertian antara pengader dan senior, meski kata senior bukanlah istilah resmi atau istilah dokumen, melainkan istilah kultural.

Secara umum perkaderan dianggap tidak lagi transformatif terhadap keadaan masyarakat yang “sakit”. Tujuan kurang didefinisikan dan diterjemahkan secara jelas dalam perkaderan dan bahasa (logika) gerakan, seolah-olah terjadi diskontinuitas. Baik konsep kunci ulul albab dan masvarakat ideal belum mendapatkan perumusannya yang layak sebagai prinsip-prinsip transformasi masyarakat atau pertumbuhan individu dan masyarakat.

Dibutuhkan transformasi dari normatifitas-subvektif kepada obvektivitas­-empirik atas konsep-konsep ulul albab dan masyarakat ideal tersebut. Pada sub bab terdahulu telah ditunjukkan pentingnya usaha ini beserta perumusan metodologinya, sebuah cara berfikir yang paradigmatik dan operatif. Disinilah arti penting epistemologi; sebuah usaha yang memerlukan keberanian dan keseriusan tersendiri untuk memikirkan dengan cara tertentu sebuah visi transformasi diri dan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif; dan menjadi program yang sistematis. Karena itu dibutuhkan kesiapan dan persiapan tertentu serta penentuan medan juang, modus dan fokus kegiatannya yang terintegrasi dengan pola trainingnya.

Islam dan kader hendaknya tertransformasi secara obyektif menjadi prinsip dan agen perubahan diri dan masyarakat, bukan sekedar jargon normatif dan bahan diskursus. Kader memiliki mental dan etos-profetik, semangat kenabian melakukan pembebasan dari semua bentuk ketidakadilan baik (terutama) dalam dirinya sendiri rnaupun masyarakat sesuai dengan proporsinya masing-masing. Salah satu syaratnya ialah tidak melihat Islam dan HMI sebagai monolitik.

Visi Islam-transformatif inilah yang kini dibutuhkan. Kini banyak kontribusi perumusan dan contoh tentang visi ini, seperti islam-pembebasan, neo-modernisme Islam, post-modernisme Islam, Kiri-Islam, Islam-Sufistik, Islam-Perenial, Islam-Tradisi dn lain-lain. Mungkin ada baiknya kita belajar dari meraka tentang metode berfikir dan kontekstualisasi Islam dalam masyarakat menurut zamannya dalam berbagai masalahnya, terutama dalam situasi kemodernan dan lokasi tertentu. Pada hakekatnya inilah isi sebuah ideologi, disamping aspek-aspek metafisik dan etis.

Sidang komisi dalam TKPN di Semarang memberi kita pemahaman tertentu. Misi HMI amat terkait dengan dan merupakan turunan visi tertentu HMI. Sebuah visi idealnya memiliki energi motivasi, distingsi (furqan), transformasi yang menyebabkan visi menjadi "ruh" bagi kader/pengader dalam menempatkan sistem perilaku (akhlakul karimah) dan prioritas kegiatan (pilihan medan juang). Visi bagi mereka ialah akumulasi keinginan-keinginan ideal sebuah organisasi; mestinya ditempatkan sebagai moral jama'i yang memiliki fungsi pacu, arahan, dan kontrol yang reformatif, konstruktit, bahkan transtormatif.

Ketika visi HMI kini disinyalir tidak lagi menggerakkan (visible) terdapat beberapa kemungkinan. Pertama, tercbpat kelemahan dalam visi itu sendiri, paling tidak menimbulkan bermacam-macam interpretasi dengan bias-bias tertentu (interpretable), karena itu kembali harus diukur relevansinya dengan masalah atau semangat zamannya. Kedua, visi ini telah mengalami jarak waktu perumusannya dengan waktu dan lokasi disini dan kekinian, karena itu diperlukan kontekstualisasi dengan cara tertentu, dan dalam keadaan ini dibutuhkan standar evaluasi. Untuk pemenuhan (baca: menjawab kelemahan) usaha-usaha diatas diperlukan data dan, yang penting, tradisi riset.

Dalam konteks masyarakat industri sistem nilai HMI, mungkin, baru merupakan klaim, diperlukan pengujian sosio-kultural lebih jauh dengan mengakomodasi tradisi pembenaran standar: saintitik; karena itu dibutuhkan, lebih lanjut dalam bahasa program, pilot-project, inklusif dengan gerakan lain, dan keberanian untuk bertarung atau berkompetisi dengan lingkungannya. "Mari kita hadirkan kembali idealisme dan militansi HMI; ataukah idealisme itu hanya Topeng?" kata seorang peserta TKPN.


You Might Also Like :


0 comments: