Blogger Tricks

MATANYA

Wednesday, February 28, 2007

Kebutuhan Seni Dalam Perkaderan HMI

Posted On 1:08 PM by Pengader Online 0 comments

Adib' Achmadi

Sebuah tulisan dari Ketua Badko Jateng, Diambil dari edisi Pasca Kongres Jurnal Kongres 21 HMI, Yogyakarta 1997. Tulisan ini mencoba mendorong diakomodasinya kreatifitas dan etos berkesenian dalam spektrum perkaderan HMI

Konon otak manusia terdiri dari bagian-­bagian tertentu yang memiliki aneka fungsi. Salah satu bagian itu berfungsi dalam hal seni (art). Tepatnya pada lapis otak bagian kanan. Dengan berfungsinya otak yang satu ini, manusia merasakan adanya keindahan dan kelembutan.

Bila kenyataannya demikian, maka un­sur seni dalam kehidupan manusia itu ada­lah inhern. Didalam diri manusia telah ter­simpan potensi atau bakat seni yang siap un­tuk tumbuh dan berkembang. Bila Maslow berpendapat kebutuhan jiwa (Psiche) dalam diri manusia adalah inhern dan mandiri, maka kebutuhan akan hal-hal yang bersifat kejiwaan merupakan kebutuhan dasar/pokok. Apa yang menghambat bagi terpe­nuhinya kebutuhan jiwa ini seperti rasa aman, cinta, harga diri dan aktualisasi diri akan menimbulkan gangguan jiwa atau Maslow menyebut sebagai neorosis. Begitu pula dengan seni, kebutuhan akan seni dalam kehidupan manusia sudah sepatut­nya menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Hambatan bagi terpenuhinya kebutuhan seni akan mengurangi keutuh­an fungsi-fungsi kemanusiaan.

Dalam perkaderan di HMI, yang secara hakekat hendak memberdayakan seluruh potensi kemanusiaan. Pemenuhan terha­dap kebutuhan seni menjadi niscaya dilaku­kan. Seni harus mendapat ruang yang sewa­jarnya dalam dinamika perkaderan. Tanpa pemenuhan unsur yang satu ini secara proporsional tujuan perkaderan HMI akan timpang. Sebagai kenyataan dilapangan kita dapati bahwa unsur-unsur seni didalam dinamika perkaderan HMI terasa kering. Hal ini bisa dibaca dari kurang nampaknya apresiasi seni yang ditampilkan pada seluruh aktivitas di HMI. Kondisi yang demikian ini sudah sepatutnya mendapatkan per­hatian.

Akibat Kurang Teraktualnya Kebutuhan Seni
Bila unsur seni inhern dalam diri manusia. Ia harus mendapat ruang yang layak didalamnya. la akan juga seperti tu­buh yang bila kurang vitamin C akan sa­riawan atau kurang makanan akan terasa lapar. la juga seperti jiwa yang bila tidak terpenuhi kebutuhannya akan menim­bulkan neorosis. Kekurangan unsur seni juga akan menimbulkan dampak bagi manusia. Karena unsur seni akan mela­hirkan keindahan dan kelembutan pada di­ri manusia, tidak terpenuhinya kebutuhan manusia akan seni menyebabkan nuansa kelembutan dan keindahan menjadi ku­rang dan kering. Yang nampak dipermu­kaan pada orang yang kurang tumbuh po­tensi seninya adalah kekakuan, keras dan cenderung kasar. Hal ini bisa terjadi pada seluruh aspek kehidupan seperti sikap, pergaulan ataupun pada karya-karya yang ditampilkan.

Sebab-Sebab Kurang Terpenuhinya Kebutuhan Seni
Kurang terpenuhinya kebutuhan seni bisa bermacam-macam. Bisa jadi unsur seni seseorang atau sebuah komunitas begitu minim karena memang apresiasi seninya rendah. Namun bisa juga ada faktor nor­matif yang menghambat unsur-unsur seni tumbuh secara layak. Untuk kasus HMI dan gerakan-gerakan Islam pada umumnya, penyebab terakhir ini yang nampaknya dominan. Banyak aktivis-aktivis gerakan Islam termasuk HMI yang semula begitu apresiatif terhadap seni dan kesenian tiba­-tiba menjadi krisis dan miskin apresiasi.

Upaya Pemberdayaan Seni dalam Perkaderan
Seni sebagaimana pula kebutuhan intelektual dalam diri manusia. Bila fungsi seni berada pada lapis kanan dalam otak manusia, sementara intelegensia sebagai tolok ukur intelektual terdapat pada lapis bagian kanan. Maka bila di HMI intelektual mendapatkan porsi yang lumayan besar maka sudah barang tentu seni harus pula mendapatkan porsi yang sewajarnya dan layak. Keberadaan seni harus mendapatkan apresiasi yang segar pada seluruh dimensi perkaderan. Seni harus bisa menjadi nuansa yang tumbuh menyertai setiap gerak-gerik kegiatan HMI seperti pula pada masalah intelektual dan spiritual yang saat ini diupayakan menjadi tradisi yang tumbuh.

Beberapa hal yang bisa dilakukan bagi terpenuhinya kebutuhan seni di HMI, Pertama adalah pemahaman kembali seni dalam dataran normatif. Kedua memunculkan etos apresiasi. Ketiga, sarana apresiasi.

Masalah pemahan kembali seni dalam dataran normatif menjadi penting karena selama ini ketakutan berapresiasi lebih disebabkan karena faktor normatif. Sejumlah bentuk-bentuk seni telah ditabu­kan kalau tidak boleh dibilang haram, se­perti musik. Namun dalam praktek bukan hanya musik yang telah menjadi barang yang ditabukan, namun bau-bau seni cende­rung dijauhi. Sebagai akibatnya apresiasi terhadap seni menjadi rendah dan kering.

Meski masih menjadi perdebatan soal halal dan haramnya musik, sesungguhnya apresiasi terhadap seni tidak lalu mati. Sebab seni bukanlah identik dengan musik. Masih banyak bentuk-bentuk seni yang bisa dikembangkan andaikan disepakati musik itu haram. Namun yang lebih penting dari itu pemahaman atas unsur seni yang in­hern pada diri manusia harus ditanamkan. Secara normatif mustahil sesuatu yang inhern pada diri manusia perwujudannya diharamkan.

Berkenaan dengan etos seni, upaya per­kaderan di HMI perlu memberikan ruang tersendiri. Dukungan dan motivasi terha­dap bentuk-bentuk apresiasi seni perlu dita­namkan seiring dengan jenjang perkade­ran yang ada. Hal ini bukan berarti pemberian porsi yang berlebihan terhadap seni. Lebih tepatnya memberikan ruang yang sewajarnya bagi tumbuhnya seni.

Masalah sarana bagi perwujudan apresiasi seni perlu disediakan dalam batas­batas yang bisa dilakukan. Paling tidak per­lu lembaga yang menyalurkan potensi seni dan kegiatan-kegiatan vang bisa mengantarkan aktualisasi seni kader.


Islam Visioner & Perkaderan HMI

Posted On 1:06 PM by Pengader Online 0 comments

Ahmad Ribhan

Tulisan ini dibuat sebagai Refleksi Temu Korp Pengader Nasional II di Semarang-Ambarawa, 27-29 juni 1997. Dalam uraian ini, sang penulis mengungkapkan beberapa ide yang mencuat pada pelaksanaan TKPN dan masih kontekstual dalam realitas perkaderan HMI hari ini

Islam adalah agama, sistem etika, pranata sosial-politik, pendidikan dan kebudayaan. Ber-Islam adalah motivasi dan cita-cita untuk mewujudkan nilai-nilai dasar yang men­jadikan manusia dan masyarakat memu­liakan dan dimuliakan, menuju tatanan sosial yang adil dan mandiri.

Ideal-ideal ini tersebut menjadi tujuan HMI, yang dirumuskan dalam dua konsep kunci: Ulul albab dan masyarakat yang diridloi Allah. Dari siniIah ideologi HMI dirumuskan, disamping dari tafsirnya atas realitas kemasyarakatan dalam seluruh di­mensinya. Hubungan idealitas dan realitas ini terjadi dalam keadaan bergerak, berpro­ses, tumbuh terus-menerus, singkatnya dialektika.

Sejalan dengan fitrah manusia dan masyarakat untuk terus turnbuh, realitas cenderung menampakkan perubahan. Arahnya tidak selalu satu, tidak selalu memusat bahkan lehih sering menyehar.

Mengingat manusia adalah makhluk yang bebas dan berkehendak, perubahan merupakan dialektika manusia dan lingkungannya, manusia dengan sesamanya, cira-cita dan keadaan yang mendikte, transen­densi dan imanensi dari manusia, baik secara individual maupun kolektif. Itulah sebabnya mengapa terdapat demikian banyak varia­bel dan dimensi sehingga perubahan dapat menuju pada konflik dan benturan pera­daban dalam seluruh bentuknya dan pihak­-pihak yang terlibat dan atau dilibatkan.

Kenyataan "tetap" dan "berubah" adalah sebuah paradigma yang kini banyak digunakan untuk menjelaskan banyak entitas. Islam sebagai agama dan ideologi pun dipahami demikian. Ada aspek ajaran yang bersifat tetap dan bersifat berubah, atau boleh dirubah, bahkan direncanakan harus berubah. Jika kita tetap pada satu kutub, maka sesungguhnya kita terbelenggu, terjebak kejumudan, bahkan kehi!angan (martabat) kemanusiaan, demikian pula sebaliknya.

Secara klasik yang tetap dari ajaran Islam adalah Tauhid, Selebihnya lain soal. Dalam bahasa neo-modemisme, yang tetap adalah nilai-nilai dasar, sejalan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan kemasyarakatan, meliputi kemerdekaan (kebebasan), keadilan, toleransi (pluralitas), dan perda­maian, dll. Inilah yang dimaksud Tauhid dalam arti esoteris dan dalam bentuk sistem­etika internasional atau primordial-univer­sal. Semua ditemukan dalam bentuk perjalanan manusia dalam waktu dan lokasi. Al-Qur'an mengujarkannya dalam bentuk kisah-kisah yang memiliki dan mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan; visi metafisik dan empirik, visi transenden dan imanen. Sebuah cara belajar yang amat mempertim­bangkan fenomena atau peristiwa yang kecl dan pinggiran, atau dapat menjadi entry point untuk menjadi bijaksana atau dinamika yang sehat.

Jika kita urut dari uraian diatas, sebuah visi lahir dari sebuah cara berfikir, cara merasa dan metodologi tertentu. Kaitannya dengan kritik-kritik terhadap HMI, baik oleh orang-dalam maupun orang-luar, tampak tema “pembebasan” bergaung di sebagian HMI Cabang, baik sebagai wacana maupun sikap politik. Pembebasan dari kejumudan berfikir, ketidakadilan perla­kuan pemerintah terhadap rakyat, dari ideologisasi-pengetahuan rakyat Indonesia oleh kebijakan pemerintah dan militer, dan seterusnya.

Apa hubungan elit politik santri dalam birokrasi dan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi belakangan ini (?), adalah sebuah pertanyaan dan otokritik bagi umat Islam, yang meski merupakan pertanyaan jebakan pihak non-Islam, tetapi menyadarkan kita atas seberapa jauh komitmen dan pemberda­yaan kira terhadap umat, disamping memberi kesadaran bahwa ada yang kurang/salah dalam cara pandang kita terhadap perubahan sosia.

Secara internal muncul pertanyaan apakah hubungan antara pengader dan kader juga mengambil pola komunikasi seperti diatas: tidak menyadari dan mengoreksi re­lasi kuasa/pengetahuan, dan cenderung menyembunyikan kepentingan-kepen­tingan tertentu baik disadari atau tidak; pa­ling tidak hal ini nampak atau dipresen­tasikan dalam bentuk pendekatan training yang dianggap masih saja menyisakan praktek idelogis-dogmatis terhadap subyek didik, atau senioritas absolut dalam segala kegiatan.

Terasa ada diskontinuitas idealita Islam dan realita sosio-kultural dan sosio-politik HMI, diskontinuitas hubungan HMI dan masyarakat di luar; sebuah kegamangan tentang apakah HMl mampu berperan langsung dalam wacana umum, dalam mengalami proses kemasyarakatan secara alamiah, bergerak bersama dengan organisasi kerakyatan atau organisasi mahasiswa dan organisasi-keagamaan yang melibatkan masyarakat sebagai sasaran kegiatannya. Belum lagi jika mempertimbangkan faktor psikologis beban-sejarah HMI masa lalu yang sarat dengan aktifitas sosial-politik dan sosial­budaya (romantisme gerakan).

Disini pokok persoalannya ialah apakah ajaran Islam telah diterjemahkan HMI berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Ini adalah masalah pendekatan, metodologi dan sistem etika kemasyarakatan.

Secara khusus terdapat nuansa dari Temu Nasional Korp Pengader di Semarang, tuntutan atas kejelasan makna dan kerangka yang lebih operasional dari tujuan HMI, terutama dalam konteks dan praktek perkaderan. Disinilah epistemologi dan kajian peradaban harus mendapatkan bentuknya yang konkrit; sebagai sebuah pisau analisa dan tradisi riset serta penyebaran hasil-hasilnya, dan upaya kritis untuk mewarnai masyarakat. Sebuah tradisi yang hidup dan terus tumbuh dengan motivasi transendental. Pendek kata, Islam haruslah transformatif, missi kenabian dan semangat profetik harus menjadi semangat zaman ini; sikap ber-Islam tereksternalized dalam sikap pembelaan dan pembebasan diri dan masvarakat dari semua keterbelengguan dari ketidakadilan.

Masyarakat ldeal : Apa Konsep HMI?
Dalam dokumen HMI memang tidak terdapat penjelasan yang luas dari apa itu masyarakat yang diridloi Allah (sebnjutnya kita sebut: masyarakat ideal). kecuali sedikit dalam khittah HMI, bab asas dan tujuan. Se­jumlah kriteria dari masyarakat-ideal me­mang disebut didalamnya, tapi kriteria ini tidak bisa disebut sebagai prinsip-prinsip masyarakat-ideal. Tidak dapat disebut prinsip, karena kriteria masih berada dalam dataran normatif-subyektif, belum dirumus­kan secara empirik-obyektif. Disinilah gu­nanya epistemologi dan kajian peradaban. Tetapi mungkin saja masalahnya belum dipahami dan operasionalnya epistemologi dan kajian peradaban dalam tradisi HMl.

Mengingat kesulitan ini ada baiknya jika penyebutan atas tema ini mendapat sinonim atau asosiasi yang lebih jelas dan operasonal, misalkan tradisi berpikir kritis, riset, merancang transformasi sosial, atau menyusun strategi kebudayaan, keseim­bangan berfikir esoteris dan eksoteris, dan lain-lain. Sehingga demokrasi, adalah hu­bungan normativitas dan empirisitas, hubungan Islam dan masyarakat (termasuk individu). Karena itu paling tidak kita mengerti konsep-konsep Islam tentang ummat, amanah, sunnah, ijma', musya­warah, kekuasaan, toleransi dan lain-lain, dan mengerti sifat dan perkembangan reali­tas masyarakat. Yang pertama memberi arahan-etis dan motivasi-rekayasa atas masya­rakat dalam seluruh lapisan masyarakatnya. Jadi penghubung Islam dan Masyarakat adalah sistem etika masyarakat. Inilah bagian terbesar dari isi sebuah ideologi.

Jika HMI bisa dianggap sebagai minia­tur sebuah masyarakat, maka selain ia harus berproses seperti masyarakat, melainkan ia memiliki konsep clan model-model transfor­masi masyarakat yang sejalan dengan ideo­loginya. Jadi ideologi tidak hanya berisi nor­ma-norma teologis-filosofis, tetapi dengan epistemologinya ia merumuskan dan meng­gunakan model transformasi masyarakatnya untuk mencapai kepentingan politiknya.

Reduksi Perkaderan
Dokumen HMI menyebutkan bahwa perkaderan adalah upaya sistematis mencapai tujuan HMI melalui (cara) pendidikan umum dan khusus, kegiatan, dan jaringan. Tetapi disinyalir perkaderan telah menga­lami penyempitan makna dalam prakteknya, disamping sejumlah masalah lain. Meski be­gitu sebagian menganggap tidak terdapat permasalahan serius dalam perkaderan HMI, terutama dalam hal konseptualisasinya, kecuali persoalan managerial semata, misal­nya kurangnya frekuensi SC, kurang mera­tanya penurunan atau penugasan para penga­der dalam pemenuhan kebutuhan training, kurang optimalnya fungsi KPC dalam me­ningkatkan kualitas pengader, dan kurang harmonisnya hubungan pengurus KPC dan pengurus HMI cabang.

Namun demikian, terdapat tuntutan yang kuat untuk menghubungkan perkaderan HMI dengan masalah dan proses ke­masyarakatan secara lebih konkrit. Sejum­lah pertanyaan yang sudah dikemukakan diatas disamping menunjukkan kenyataan ini, juga menyadarkan kita akan tingkat perubahan posisi dan kebutuhan sosio­-budaya dan sosio-politik HMl. Kebutuhan akan sebuah visi “baru”!

Penyempitan makna perkaderan ini ditunjukkan dengan adanya: 1) Training dianggap model paling penting dalam perkaderan HMl, menjadi kegiatan utama dan pokok, bahkan di beberapa komisariat cenderung menjadi satu-satunya kegiatan organisatoris. 2) Relevansinva dengan kebutuhan-pragmatis gerakan-sosial diper­tanyakan, sehubungan dengan upaya mem­pengaruhi transformasi sosial dalam ben­tuknya yang nyata. Singkatnya perkaderan HMI tidak lagi transformatif, sehingga tidak mendorong dan menjamin kader berperan di masyarakat umum. 3) Dalam konteks masyarakat industrial dan modern, sejumlah keahlian dan profesionalitas amat dibutuhkan secara merata di HMI, seperti jurnalistik, riset, politik, advokasi, seni­ budaya, dan jaringan kelembagaan. Tentu saja dalam jumlah kecil kegiatan HMI yang membutuhkan keahlian diatas tdah ada, namun menjadi kurang penting dihadapan kegiatan-training umum. Memang kita memiliki training-khusus, tetapi hanya sebagai pendukung bagi training-umum: menyiapkan pengader. Ada pula training ­ekstern, sebuah training politik, yang memberi wawasan politik bagi kader, namun tidak diarahkan pada keahlian khusus, seperti riset politik, atau penggiat politik, advokat politik, atau lainnya; hanya sekedar wawasan. 4) Penunggalan tema HMI: intelektual. Epistemologi dan peradaban menjadi jargon dan tema utama dalam hampir seluruh forum, baik pada latihan dan training maupun diskusi-diskusi umum. Sementara itu infra-struktur bagi intelektual seperti bahasa asing, riset, jurnalistik, dan pilot-project-nya tidak begitu mendapat perhatian dan pelatihan; seakan-akan, akibat­nya, terdapat hambatan struktural bagi penyaluran minat kader di bidang ini. Akibat langsung dari penunggalan tema intelektual ini adalah kurang berkembangnya tema dan kerja lain baik dalam penumbuhan minat ­kreativitas kader maupun penyusunan program.

Kesenjangan tema dan kesiapan infra-struktur ini cenderung menyebabkan kita memiliki kemampuan yang tanggung atau tidak profesional secara intelektual; dan oleh sementara pihak disebut menafikan keragaman potensi kader. Dalam dataran per­cabang, keadaan ini menjadikan potensi masing-masing cabang tidak optimal dalam pengungkapan program dan perjuangannya, kurang terdifferensi, dan serba peyeragaman. Padahal justru ini wilavah dinamis, wilayah dimana masing-masing cabang memiliki kekhasan tantangan kultural dan struktural. termasuk peluangnya. Dalam konteks inilah masing-masing cabang membutuhkan dan menuntut identitas-diri , kekhususan yang dapat menjadi spesialisasi keahlian dirinya dan medan perjuangannya; hal ini jika ditolerir akan berpengaruh pada kebutuhan dan pertumbuhan training-training khusus. Jika keragaman potensi tiap cabang, secara mikro potensi tiap kader, diterjemahkan dalam lembaga kekaryaan atau badan khusus (apa perbedannya?), maka training-training khusus ini akan menjadi wilayah yang secara proporsional lebih baik ditangani oleh lembaga kekaryaan ini, seperti LAPMI, LEMI, LDMI, dan lain-lain.

Pada konteks per-cabang, mungkin sebaiknya praktek perkaderan merupakan otonomi cabang dalam hal-hal atau kebutuhan khsusus. Dalam soal pelaksanaan training, kritikan yang ditimpakan adalah pendekatan yang digunakan, tertama pada kasus LK-I, masih bersifat ideologis-dogmatis. Demikian pula hubungan senior dan yunior, paling tidak dalam perasaan banyak orang. Sehingga usulan kesehatannya ialah dengan kembali pada tuntunan dokumen perkaderan yaitu partisipatit atau partisipatoris. Juga sebagai apresiasi terhadap usulan model dinamic group.

Pada kasus hubungan senior dan yunior yang kurang sehat, ini juga berkaitan dengan kritik-kritik terhadap pengader, yaitu pengader dianggap serba tahu, model senior satu-satunya, dan beban yang ditimpakan pada mereka: mereka diharapkan dapat bicara apa saja; sehingga terjadi tumpang tindih pengertian antara pengader dan senior, meski kata senior bukanlah istilah resmi atau istilah dokumen, melainkan istilah kultural.

Secara umum perkaderan dianggap tidak lagi transformatif terhadap keadaan masyarakat yang “sakit”. Tujuan kurang didefinisikan dan diterjemahkan secara jelas dalam perkaderan dan bahasa (logika) gerakan, seolah-olah terjadi diskontinuitas. Baik konsep kunci ulul albab dan masvarakat ideal belum mendapatkan perumusannya yang layak sebagai prinsip-prinsip transformasi masyarakat atau pertumbuhan individu dan masyarakat.

Dibutuhkan transformasi dari normatifitas-subvektif kepada obvektivitas­-empirik atas konsep-konsep ulul albab dan masyarakat ideal tersebut. Pada sub bab terdahulu telah ditunjukkan pentingnya usaha ini beserta perumusan metodologinya, sebuah cara berfikir yang paradigmatik dan operatif. Disinilah arti penting epistemologi; sebuah usaha yang memerlukan keberanian dan keseriusan tersendiri untuk memikirkan dengan cara tertentu sebuah visi transformasi diri dan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif; dan menjadi program yang sistematis. Karena itu dibutuhkan kesiapan dan persiapan tertentu serta penentuan medan juang, modus dan fokus kegiatannya yang terintegrasi dengan pola trainingnya.

Islam dan kader hendaknya tertransformasi secara obyektif menjadi prinsip dan agen perubahan diri dan masyarakat, bukan sekedar jargon normatif dan bahan diskursus. Kader memiliki mental dan etos-profetik, semangat kenabian melakukan pembebasan dari semua bentuk ketidakadilan baik (terutama) dalam dirinya sendiri rnaupun masyarakat sesuai dengan proporsinya masing-masing. Salah satu syaratnya ialah tidak melihat Islam dan HMI sebagai monolitik.

Visi Islam-transformatif inilah yang kini dibutuhkan. Kini banyak kontribusi perumusan dan contoh tentang visi ini, seperti islam-pembebasan, neo-modernisme Islam, post-modernisme Islam, Kiri-Islam, Islam-Sufistik, Islam-Perenial, Islam-Tradisi dn lain-lain. Mungkin ada baiknya kita belajar dari meraka tentang metode berfikir dan kontekstualisasi Islam dalam masyarakat menurut zamannya dalam berbagai masalahnya, terutama dalam situasi kemodernan dan lokasi tertentu. Pada hakekatnya inilah isi sebuah ideologi, disamping aspek-aspek metafisik dan etis.

Sidang komisi dalam TKPN di Semarang memberi kita pemahaman tertentu. Misi HMI amat terkait dengan dan merupakan turunan visi tertentu HMI. Sebuah visi idealnya memiliki energi motivasi, distingsi (furqan), transformasi yang menyebabkan visi menjadi "ruh" bagi kader/pengader dalam menempatkan sistem perilaku (akhlakul karimah) dan prioritas kegiatan (pilihan medan juang). Visi bagi mereka ialah akumulasi keinginan-keinginan ideal sebuah organisasi; mestinya ditempatkan sebagai moral jama'i yang memiliki fungsi pacu, arahan, dan kontrol yang reformatif, konstruktit, bahkan transtormatif.

Ketika visi HMI kini disinyalir tidak lagi menggerakkan (visible) terdapat beberapa kemungkinan. Pertama, tercbpat kelemahan dalam visi itu sendiri, paling tidak menimbulkan bermacam-macam interpretasi dengan bias-bias tertentu (interpretable), karena itu kembali harus diukur relevansinya dengan masalah atau semangat zamannya. Kedua, visi ini telah mengalami jarak waktu perumusannya dengan waktu dan lokasi disini dan kekinian, karena itu diperlukan kontekstualisasi dengan cara tertentu, dan dalam keadaan ini dibutuhkan standar evaluasi. Untuk pemenuhan (baca: menjawab kelemahan) usaha-usaha diatas diperlukan data dan, yang penting, tradisi riset.

Dalam konteks masyarakat industri sistem nilai HMI, mungkin, baru merupakan klaim, diperlukan pengujian sosio-kultural lebih jauh dengan mengakomodasi tradisi pembenaran standar: saintitik; karena itu dibutuhkan, lebih lanjut dalam bahasa program, pilot-project, inklusif dengan gerakan lain, dan keberanian untuk bertarung atau berkompetisi dengan lingkungannya. "Mari kita hadirkan kembali idealisme dan militansi HMI; ataukah idealisme itu hanya Topeng?" kata seorang peserta TKPN.


Khittah Perjuangan dan Tantangan-Tantangan Baru HMI

Posted On 1:04 PM by Pengader Online 0 comments

Syahrul Efendi D

Sebuah tulisan yang dibuat oleh Kabid Perkaderan PB HMI 2003-2005. Tulisan ini disampaikan pada pertemuan cabang-cabang se-Indonesia Bagian Tengah, Surabaya, 02-03 April 2005. dalam tulisan ini, diulas tentang beberapa gagasan untuk pembaharuan Khittah Perjuangan HMI

Adalah langkah yang tepat jika secara terus menerus kader-kader HMI mendiskursuskan kembali Khittah Perjuangan —seterusnya cukup disingkat dengan KP.

Tentu saja diskursus KP tidak boleh hanya berhenti pada tingkat pengkritisan apalagi penggugatan semata tanpa memberikan solusi alternatif. KP sebagai sebuah produk pemikiran tentu saja bersifat historis. Yang kita maksud dengan bersifat historis adalah bahwa pemikiran dalam KP tersebut terikat dengan hukum-hukum dan relativitas sejarah. Tentu kita mengerti bahwa sejarah bukanlah lahir dari ruang hampa. Demikian juga jika kita sepakat bahwa KP sebagai produk sejarah bukanlah lahir dari ruang hampa. Dia merupakan produk pemikiran dari pelaku-pelaku sejarah dalam lingkup sejarah yang bersifat khusus. Dia merupakan respon pemikiran atas tantangan zaman ketika itu. Dengan demikian adalah tidak salah jika memang zaman telah berubah maka ada respon pemikiran terhadap tantangan zaman tersebut.

Selintas Khittah Perjuangan
Menurut Edi Ryanto, KP mestilah dipandang sebagai kelanjutan dari gagasan-gagasan sebelumnya dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi tafsir azas HMI. NDP sendiri yang ditulis pada kisaran akhir 1960-an menurut hemat kami tidaklah terpisah dari ide sebelumnya yang termuat dalam Garis-Garis Besar Pokok-Pokok Perjuangan (GBPP) yang disahkan pada tahun 1957. Perbedaan visi antara KP dan NDP agaknya hanya terletak pada fungsi dan semangatnya saja. Bila NDP hanya berfungsi sebagai tafsir atas azas Islam saja, maka KP berusaha mendudukkan dirinya sebagai tafsir terpadu atas azas, tujuan, dan sifat independensi yang melekat pada organisasi HMI. Masalahnya sejauh mana urgensi keterpaduan tafsir atas azas, tujuan dan independensi itu bagi HMI. Untuk sementara kita tangguhkan dulu persoalan urgensi keterpaduan tafsir ini.

Di samping fungsi yang berbeda, semangat yang terkandung dalam KP memang tampak kental bersudut pandang islamis. Ini bukan berarti sudut pandang islamis kita anggap buruk. Yang kita maksud dengan sudut pandang islamis adalah pemahaman bahwa Islam sebagai suatu cara pandang (world view) yang tersendiri terhadap alam, manusia dan Tuhan vis a vis dengan cara pandang lain di luar Islam. Pemahaman lain dari sudut pandang islamis adalah bahwa Islam berhadap-hadapan —jika tidak ingin mengatakan bermusuhan secara abadi— dengan Barat. Salah satu yang menonjol dapat kita perhatikan pada konsep Wawasan Ilmu. Di dalam Wawasan Ilmu tampak dengan nyata bagaimana visi Islam —setidaknya menurut pembuat konsepsi tersebut— terhadap ilmu pengetahuan. Diterangkan juga bagaimana visi Islam terhadap sumber-sumber ilmu, cara memperoleh ilmu dan penerapan ilmu dalam kehidupan umat manusia.

Sedangkan NDP, banyak orang menilai lebih kental bersudut pandang sekuler ketimbang sudut pandang Islamnya. Tentu saja penilaian-penilaian semacam itu akan memancing banyak perdebatan. Tetapi apapun penilaiannya, lahirnya KP tidak bisa dilepaskan dari semangat zaman yang melingkupi masa itu. Gegap-gempita sehabis Revolusi Islam Iran (1979) yang berhasil itu disusul dengan hiruk-pikuk abad 15 Hijriyah sebagai abad kebangkitan Islam menjadi faktor eksternal penting bagi kelahiran pemikiran yang terkandung dalam KP. Ketika faktor eksternal itu sudah tidak bergema lagi, bagaimana dengan signifikansi KP sebagai paradigma atau “ideologi” HMI dalam menjawab tantangan intenal dan eksternalnya yang semakin dinamis dan variatif? Inilah pertanyaan sentral yang harus kita pecahkan sedari sekarang tanpa harus diwariskan lagi kepada generasi selanjutnya.

Tantangan-tantangan Baru HMI

Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa KP pada hari ini tidak sebermakna KP pada masa-masa yang lalu. Harapan KP sebagai pedoman dan pembimbing pemikiran dan aksi kader-kader HMI dalam menjawab tantangan-tantangan lingkungan dan zamannya, kini hampir tinggal menjadi harapan saja. Agak berlebihan memang jika kita menuntut KP dapat menjawab segala tantangan yang ada di hadapan kita hari ini. Menuntut KP sebagai pedoman perspektif bagi kader-kader HMI dalam menatap lingkungan sekitarnya saja sudah hampir menjadi tuntutan yang berlebihan.

Tantangan kita hari ini sudah barang tentu berbeda dengan tantangan generasi-generasi 1980-an hingga pertengahan 1990-an pada saat KP itu dilahirkan dan dikembangkan. Tantangan yang nyata ketika itu adalah suasana sosial politik yang betul-betul tidak nyaman untuk berbeda pemikiran dan haluan politik dengan rezim yang berkuasa. Seluruh prinsip-prinsip demokrasi pada masa itu benar-benar dimatikan. Dengan demikian HMI yang mengambil posisi berhadap-hadapan dengan arus rezim secara otomatis harus menanggung akibatnya. Akibatnya adalah tidak mendapatkan ruang yang longgar untuk mengembangkan misi dan postur organisasinya.

Pada generasi sekarang, tantangan seperti itu sudah mustahil. Dengan suasana yang sangat terbuka, generasi sekarang dapat mengembangkan misi dan postur organisasinya tanpa dihalang-halangi sedikit pun. Negara yang dahulu serba mengontrol kini sudah menjadi kenangan lama yang buruk. Arus liberalisasi di segala bidang membuat negara sebentar lagi tinggal hanya menjadi tukang stempel saja. Penguasa nyata atas politik, ekonomi dan sosial, lambat-laun akan beralih ke tangan-tangan para pemilik modal. Pintu gerbang era itu sekarang telah dibuka lebar-lebar dan masyarakat serta negara sudah dihalau dan digiring untuk masuk berduyun-duyun ke dalam era itu.

Sesungguhnya era yang dipaksakan kepada kita ini disokong dengan kuat oleh sebuah paham yang banyak disebut orang dengan neo liberalisme. Tetapi ada juga yang memberi istilah dengan kapitalisme lanjut. Bonnie Setiawan mencatat 5 (lima) prinsip dari neo-liberalisme. (1) Kekuasaan pasar (the rule of the market); (2) Memotong pengeluaran negara untuk pelayanan sosial, seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘safety-net’ bagi orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih; (3) Deregulasi, yang berarti mengurangi peraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi profit; (4) Privatisasi, dengan cara menjual BUMN-BUMN kepada investor swasta. Ini termasuk juga menjual usaha pemerintah di bidang perbankan, industri strategis, jalan-raya, jalan-tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air; (5) Menghapus konsep “barang-barang publik” (public goods), dan menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, seperti menyalahkan kaum miskin yang tidak mempunyai pendidikan, jaminan sosial, kesehatan dan lainnya, sebagai kesalahan mereka sendiri. Ujung dari semua itu adalah pemangkasan otoritas negara sebagai langkah strategis untuk lebih mudah mengendalikan negara, dan akhirnya negara dirampas dari tangan rakyat untuk kemudian menjadi milik penguasa keuangan atau pemilik modal.

Demikianlah bagaimana era ini sebetulnya diset by design. Ia merupakan skenario global untuk mengintegrasikan kekuasaan pasar. Ia juga merupakan skenario global untuk menaklukkan negara-negera merdeka. Dan berbicara mengenai pasar, ia bukanlah sebuah arena jual-beli yang menurut anggapan orang banyak, ideal dan fair. Kekuasaan pasar sepenuhnya ada di tangan aktor-aktor pasar. Dan penentu aktor-aktor pasar itu sendiri ada di tangan aktor-aktor pasar yang lebih besar dan kuat.

Yang paling menderita dari sistem semacam ini adalah negara-negara lemah. Negara-negara lemah otomatis akan menjadi santapan yang lezat bagi aktor-aktor pasar itu. Di dalam negeri, penduduk-penduduk yang lemah juga akan menjadi sapi perahan dan kurban dari sistem yang kejam itu. Penduduk yang tidak terdidik dan tidak terampil akan menderita selama hidupnya akibat sistem pasar yang serba adu kuat dan adu licik.

Apa Dampaknya?

Dalam sistem kehidupan seperti itu, beberapa dampak yang akan timbul adalah:
1. Merebaknya arus konsumerisme dan materialisme sempit. Yang kita maksud dengan materialisme sempit adalah pemahaman bahwa kehidupan sepenuhnya diabdikan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan materi. Yang nyata dan berharga dari hidup hanyalah materi. Semakin banyak materi yang dimiliki semakin berartilah kehidupan. Semakin banyak materi seseorang semakin meningkat pula status sosial seseorang.

2. Berkembangnya asas survival of the fittest dalam pergaulan hidup manusia. Asas ini memang watak khas dari pasar itu sendiri. Tentu di dalam pasar, jualan siapa yang paling menarik, promosi siapa yang paling berpengaruh, maka jualannyalah yang akan laku dan mendapat tempat. Prinsip ini sama dengan prinsip hukum rimba yang jauh dari rasa keadilan manusia.

3. Pemahaman keagamaan pun akan ikut-ikutan tunduk kepada hukum pasar. Maksudnya adalah pemahaman keagamaan akan mengikuti selera konsumen-konsumennya. Jika ini yang terjadi, maka jatuhlah martabat agama itu. Agama pun akan menjadi jinak di tangan penganut-penganutnya. Api revolusioner yang terkandung dalam agama dengan sendirinya dipadamkan oleh pemahaman penganut-penganutnya. Lebih celaka dari itu, agama pun akan menjadi barang dagangan bagi otoritas-otoritas keagamaan. Dan perlu diperhatikan, gejala itu sudah lama berlangsung di depan mata kita.

4. Konflik laten dalam memperebutkan hak-hak ekonomi antara buruh dengan majikan, antara sesama pemilik modal, dan antar negara sendiri. Potensi konflik ini diredam dengan pendekatan kekerasan, tetapi di lain pihak juga dieksploitasi dengan licik oleh politikus-politikus untuk memperebutkan kekuasaan. Dengan demikian konflik yang ditimbulkan oleh tatanan timpang berporoskan pasar bebas ini akan terus menjadi laten dan sewaktu-waktu dapat meletus. Sudah barang tentu kondisi demikian akan membawa ketidakdamaian antar sesama manusia. Api dendam dan cemburu karena ketimpangan struktural menyala di dalam dada-dada golongan yang tertindas. Tetapi dengan cerdik, negara yang telah dikangkangi oleh pemilik modal itu meredam gejolak dendam kaum tertindas itu dengan intimidasi dan kekerasan, juga tentunya berupa metode pengalihan isu dan perhatian. Dengan menjual mimpi-mimpi lewat media-media, kaum tertindas itu dialihkan perhatian dan kesadarannya.

Dapatkah KP Menjawab Tantangan Tersebut?
Dari semua yang dipaparkan di atas, sudahkah KP dapat memberikan perspektif atas persoalan-persoalan riil di atas yang mau tidak mau akan segera harus dihadapi dan harus diatasi. Jika pandangan kita benar bahwa kedudukan KP seyogyanya sebagai pedoman dasar dalam melihat dan menilai arena eksternal, maka sudah seyogyanya pula KP dapat memberikan perspektif atas persoalan-persoalan yang diungkapkan di atas. Hal ini perlu supaya KP betul-betul berfungsi sebagai pedoman dan kacamata gerakan HMI. Dia tidak hanya sebagai wacana yang didiskusikan di kelas-kelas training yang terlepas dari pergulatan hidup yang nyata.

Sependek pengetahuan saya, KP dalam praktiknya belum sepenuhnya menjadi pedoman dasar dalam melihat dan menilai arena eksternal oleh para kader-kader HMI. Saya belum mengetahui secara pasti apakah hal ini terkait dengan teori yang terkandung dalam risalah KP yang tidak dapat difungsikan dengan baik dalam melihat dan menilai arena eksternal. Apalagi jika kita berharap lebih jauh untuk mendudukkan KP sebagai paradigma dan acuan aksi dalam pergerakan HMI, tentu hal itu tidak ditemukan dalam KP.

Melihat permasalahan ini, menjadi perlu untuk kembali mendiskusruskan penyempurnaan KP atau sekalian membuat yang baru. Untuk menyempurnakan apalagi untuk membuat yang baru tentu bukan perkara yang enteng. Berkali-kali kita berharap membuat KP baru atau penyempurnaan KP, tetapi tidak pernah berhasil dengan meyakinkan. Apa yang terjadi selama ini hanya sekedar lontaran kritik dan tambal-sulam di sana sini.

Menurut saya, jika pun harus diagendakan penyempurnaan KP atau pembuatan KP yang baru, maka penting untuk memasukkan unsur-unsur gagasan berikut ini. Pertama, gagasan tentang keadilan. Gagasan tentang keadilan hendaknya tidak hanya terpaku pada isu keadilan teologis, tetapi juga mencakup keadilan ekonomi, sosial dan politik. Gagasan keadilan berguna untuk menimbang tatanan yang sedang berlaku: apakah sudah adil atau masih zalim.

Kedua, gagasan tentang masyarakat cita HMI. Gagasan tentang masyarakat cita HMI haruslah gamblang sebagaimana gerakan-gerakan lain menjabarkan dengan gamblang cita-cita masyarakat mereka. Gagasan masyarakat komunis sebagai cita-cita kaum komunis atau khilafah atau pun juga negara Islam jauh lebih gamblang ketimbang masyarakat cita yang tertulis dalam dokumen HMI. Gambaran yang jelas terhadap gagasan masyarakat cita sangat diperlukan untuk menjadi patokan dan orientasi dalam bergerak di garis perjuangan.

Unsur ketiga adalah gagasan tentang skenario perubahan untuk masa depan yang diimpikan. Perubahan yang diiginkan adalah perubahan yang menuju masyarakat cita tersebut. Teori perubahan beserta tahapan-tahapannya harus dijabarkan dengan gamblang. Demikian juga metode-metode perubahannya, juga harus dijabarkan dengan terang. Ketiga unsur gagasan di atas perlu dicantumkan dalam KP yang baru —jika memang ada tekad untuk mengagendakan penyempurnaannya— agar kader-kader HMI mendapatkan kepastian arah dan metode untuk mencapai cita-cita HMI. Dengan masuknya ketiga unsur gagasan di atas ke dalam KP maka KP diharapkan dapat menjawab kekurangan perpektifnya mengenai perkembangan tantangan-tantangan sosial dewasa ini.

Catatan kaki:

1. Edi Ryanto, Mengenal Dapur HMI: Beberapa Catatan Kecil, Yogyakarta: 2001, h. 20.
2. Bonnie Setiawan, Stop WTO, Jakarta: Infid, 2000. Setiawan mengutipnya dari Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, “What is Neo-Liberelisme”, Third World Resurgence, No 99 (1988), h. 8.


Tantangan-Tantangan Baru Perkaderan HMI

Posted On 1:00 PM by Pengader Online 0 comments

Syahrul E. Dasopang

Sebuah tulisan yang dibuat oleh Ketua Bidang Kader PB HMI 2003-2005 dan disampaikan pada Forum Kursus Pengader Cabang Semarang, 6 Agustus 2004. dalam tulisan ini diulas tentang beberapa hal yang menjadi tantangan perkaderan yang dihadapi HMI ditengah zaman yang selalu berubah

Tahun-tahun yang kita hadapi sekarang ini agaknya mirip dengan tahun-tahun yang dihadapi oleh organisasi ini pada tahun 1987-1992. Di antara persamaannya adalah kondisi orientasi organisasi dan perkaderan yang relatif belum stabil. Terdapat suasana peralihan yang jika tidak dapat direspon secara dini dan tepat, maka akan membahayakan kelangsungan vitalitas organisasi, malah bahkan mengancam eksistensi organisasi. Maksud saya adalah, alam pikiran dan kelembagaan HMI (MPO) yang telah ditata selama bertahun-tahun dan relatif sudah menemukan bentuknya, tiba-tiba dihadapkan kepada situasi dan tantangan baru, maka sudah barang tentu mengakibatkan kegamangan. Tantangan baru itu berwujud suasana yang tidak terduga oleh para pendahulu kita di masa lampau di mana kebebasan bergerak dan berekspresi demikian longgarnya. Kebebasan dan keterbukaan ini ternyata tidak terlalu siap untuk dihadapi oleh organisasi yang memang pada awalnya didesain bukan untuk menghadapi suasana seperti itu. Kiasannya, orang yang bertahun-tahun hidup dalam suasana terkucil dan tertekan dengan semangat defensif untuk mempertahankan eksistensinya, tiba-tiba suasana pengucilan dan penekanan itu hilang, tentu akan gagap dan terbata-bata dalam merespon perubahan yang berlangsung. Demikianlah suasana yang kita tangkap dalam dinamika organisasi HMI MPO semenjak tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998.

Dalam beberapa hal, kita tidak perlu menghindar untuk mengakui bahwa kehadiran HMI MPO erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang memaksakan azas tunggal Pancasila. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, HMI MPO adalah reaksi terhadap kebijakan sewenang-wenang dari pemerintahan Orde Baru. Akan tetapi, menjadi timbul masalah setelah pemerintahan Orde Baru atau lebih tepatnya, kebijakan azas tunggal Pancasila itu sudah tidak ada lagi. HMI MPO sepertinya kehilangan alasan (raison de’etre) keberadaannya. Masalah ini tentu berimplikasi pula terhadap perkaderan, terutama menyangkut tradisi, desain dan semangat perkaderan yang telah kita bina selama ini.

Kita harus mengakui, desain kelembagaan dan perkaderan kita hanya sampai pada tahap defensif dalam menghadapi situasi eksternal kita selama ini. Corak defensif tersebut adalah hasil wajar dari tantangan eksternal yang kita hadapi pada masa-masa yang lalu. Tentu agak sulit untuk merubahnya ke tahap opensif, meskipun itu yang paling kita butuhkan saat ini. Walau demikian, kita patut berterima kasih kepada pendahulu kita yang telah berhasil mempertahankan hidup organisasi ini dari tekanan yang pelan dari eksternal, khususnya pemerintah. Saya katakan tekanan yang pelan, kerana memang pemerintah tidak secara langsung menekan dan membumi hanguskan organisasi ini. Tampak bahwa pemerintah sedikit membiarkan organsasi ini hidup segan mati tak mau. Saya tidak tahu apakah ini juga bagian dari grand design pemerintah untuk menjinakkan kekuatan Islam, tergantung penelitianlah nanti yang akan mengungkapnya. Keterangan bahwa pemerintah sengaja membiarkan HMI MPO di masa-masa awal pembentukannya saya temukan di LPJ HMI Cabang Yogyakarta periode 1408-1409 H/1987-1988 M yang berjudul At-Tafkir, hal.35. Sejarah kita memang perlu didudukkan secara proporsional. Ada sisi sejarah kita yang mengharu biru di masa lalu, ada pula sisi sejarah kita yang belum seluruhnya terang. Salah satunya apa yang saya sebutkan di atas.

Setelah kita menoleh kepada jejak-jejak kita di masa lalu, sekarang marilah kita menatap ke masa depan. Masa lalu tidak perlu kita keramatkan, cukuplah kita mengambil pelajaran dari padanya. Lebih baik kita mencurahkan pikiran dan tenaga untuk menggapai masa depan. Ke depan tampaknya kita akan menghadapi tantangan-tantangan baru yang tidak kalah rumitnya dengan tantagan-tantangan di masa lalu. Tantangan-tantangan baru ini tentu membutuhkan strategi-strategi yang baru pula.

Di antara tantangan-tantangan tersebut yang dapat kita identifikasi misalnya situasi internasional, situasi nasional dan situasi internal yang sudah berubah. Situasi internasional dan nasional merupakan bagian dari tantangan eksternal kita yang terpenting.

Situasi Internasional

Bagaimanapun, kita tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari dinamika yang sedang berlangsung di dunia internasional. Dinamika-dinamika yang sedang berlangsung di dunia internasional akan mempengaruhi situasi domestik dan nasional kita dan pada gilirannya juga mempengaruhi situasi internal kita. Di masa lalu, tantangan internasional yang kita hadapi adalah situasi perang dingin, di mana perimbangan kekuasaan antara Blok Barat yang dipimpin oleh AS dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet sedikit memberikan kelonggaran bagi berkembangnya gerakan-gerakan Islam di banyak negara. Bahkan dalam dalam beberapa kasus, AS sengaja memanfaatkan gerakan Islam—dengan memberikan bantuan teknis dan meteril—untuk menghabisi gerakan-gerakan komunis.

Sekarang setelah Uni Sovyet dan Blok Timur jatuh, musuh yang dijadikan sasaran oleh Blok Barat beralih kepada gerakan-gerakan Islam. Dengan dalih terorisme AS sengaja mengeksploitasi keadaan untuk mematikan gerakan-gerakan Isam di seluruh dunia. HMI MPO sebagai bagian dari gerakan Islam diperkirakan tidak akan luput dari sorotan mereka. Tetapi sampai hari ini, belum terlihat tanda-tanda yang mencolok bahwa gerakan-gerakan Islam di Indonesia akan dijadikan target berikutnya oleh AS. Yang nampak baru Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan sebagian pengikutnya yang dibidik. Secara umum keadaan yang longgar untuk berkembang bagi gerakan-gerakan Islam masih terlihat lebar.

Situasi Nasional
Keadaan politik nasional kita menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kekuatan yang dominan dan dapat memusatkan kekuasaan di tangannya. Penyebaran kekuasaan terlihat terbagi-bagi di berbagai kekuatan-kekuatan politik. Jika dahulu hampir seluruh potensi kekuasaan berada langsung di bawah genggaman ABRI dan Golkar, maka setelah jatuhnya Soeharto sebagai figur utama dari kekuatan ini dan hengkangnya TNI/Polri dari legislatif, maka kekuasaan pun mulai tersebar ke berbagai kelompok-kelompok politik masyarakat sipil. PDIP dan NU adalah contoh paling nyata dari fenomena ini. Keadaan di mana tak satupun kekuatan barada di tangan kelompok politik tertentu, sebetulnya merupakan kondisi yang kondusif bagi berkembangnya segala eksprimen pergerakan masyarakat, termasuk pergerakan masyarakat mahasiswa. Akan tetapi keadaan seperti ini tidak selalu berumur panjang. Dengan demikian adalah tugas pengader HMI sebagai satuan inti dari organisasi untuk membaca peluang ini dan memanfaatkannya bagi pengembangan dan pemajuan organisasi.

Situasi Internal Keorganisasian

Perkembangan terakhir menunjukkan adanya kemajuan kuantitatif organisasi kita. Dari semula 7 cabang sebelum tumbangnya Orde Baru menjadi 36 cabang pada saat ini. Berarti dalam waktu 6 tahun cabang-cabang kita bertambah 29 cabang. Perkembangan kuantitatif ini sebetulnya membawa dampak yang tidak selalu positif bagi perkembangan keorganisasian kita, khususnya perkaderan kita. Dalam hal ini terutama menyangkut manajemen perkaderan. Jika dahulu managemen perkaderan kita tampak rapih dan efektif, sekarang karena terbatasnya sumber daya pengader dan juga dana, maka kita melihat adanya indikasi menurunnya standard kualitas pengelolaan dan out put perkaderan. Hal mana ini juga terkait dengan fenomena banyaknya cabang HMI Dipo yang bergabung ke dalam HMI MPO. Fenomena ini belum seluruhnya terjawab dengan sistem dan prosedur yang pas untuk mengatasi persoalan tersebut. Misalnya, kita belum memiliki aturan dan prosedur yang tetap apabila cabang atau kader tertentu hendak bergabung ke dalam sistem kita.

Di lain sisi, di cabang tertentu, kita melihat menurunnya gairah dan kualitas perkaderan. Banyak di antara kadernya yang memilih untuk tidak mengurusi HMI secara serius.

Selain hal di atas, mengenai watak dan pola perkaderan kita juga penting untuk kita soroti. Ada aspek tertentu dari watak dan pola perkaderan kita yang patut kita lestarikan, dan ada pula yang patut untuk kita tinjau ulang. Yang saya amati selama ini, watak perkaderan HMI lebih menitikberatkan kepada aspek pembinaan kepribadian anggota HMI, dan itu pun dipersempit dengan pembinaan kerohanian dan intelektual anggota HMI. Kita tidak melihat seberapa jauh anggota HMI dididik untuk berkiprah dan memimpin masyarakat. Sehingga yang kita saksikan, para kader HMI agak sulit membaur dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Gejala ini sebetulnya terkait dengan corak perkaderan yang diterapkan. Corak perkaderan yang diterapkan selama ini lebih menonjolkan pola kontra kultur yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat.

Tentu ada sisi baik dari pola seperti ini. Namun pola seperti ini hanya efektif dalam suasana sosial politik yang represif seperti yang terjadi di masa lalu. Pola kontra kultur hanya berhasil dalam batas mempertahankan eksistensi dan meningkatkan militansi saja. Sementara untuk mengembangkan pengaruh dan memperluas dukungan masyarakat agak sulit dilakukan. Susunan masyarakat kita yang heterogen dan plural dalam pemikiran, tidak akan memberikan peluang yang besar bagi pola perjuangan dan perkaderan yang mengedepankan kontra kultur. Kemenangan PKS di pemilu tahun 2004 membuktikan betapa keberhasilan yang mereka raih ditentukan oleh perubahan pola dan strategi yang mereka kembangkan.

Semula di tahun 1999 mereka berkeyakinan akan menang dengan cara menonjolkan ekslusifitas yang mereka miliki. Tetapi pada kenyataannya kemenangan yang mereka peroleh tidaklah signifikan. Namun di tahun 2004 mereka merubah strategi dengan mengadopsi tradisi dan pakem-pakem masyarakat yang tidak merusak tapi populer, alhasil mereka pun menuai kemenangan yang membanggakan. Demikian pula dengan HMI, tentu bisa belajar dari pengalaman tersebut. Kita tidak boleh puas dengan keadaan yang kita miliki. Kita harus selalu meningkatkan dan melakukan inovasi atas strategi dan kemampuan yang kita miliki tanpa menghilangkan nilai dasar yang sudah tertanam baik.

Sepertinya sudah saatnya kita mengembangkan strategi perkaderan (perkaderan dalam arti pendidikan, kegiatan dan jaringan) dan perjuangan yang lebih berwatak ofensif yang mampu memimpin perubahan di dalam masyarakat. Kita harus lebih aktif menerjunkan diri di dalam persoalan-persoalan umum kemasyarakatan ketimbang sibuk berkutat di dalam persoalan internal kita. Sebab dengan demikianlah kekaderan anggota HMI diuji secara langsung oleh masyarakat. Tentu hal ini akan lebih efektif dapat kita lakukan jika persoalan internal yang menghambat dapat kita selesaikan. Kita harus memandang bahwa kita ber-HMI memang untuk masyarakat dan lingkungan kita, terutama untuk umat Islam. Bukan seperti yang banyak terjadi, ber-HMI untuk HMI atau ber-HMI untuk dirinya sendiri. Wallahua’lam bisshawab.


Tuesday, February 27, 2007

Pertrainingan HMI MPO:

Posted On 12:58 PM by Pengader Online 0 comments

Model pendidikan alternatif
Ahmad Mudzakir

Sebuah tulisan yang memberikan analisis tentang watak perkaderan HMI yang mampu melahirkan kader dengan karakter khas dan identitas yang jelas. Ditulis oleh Mantan Ketua Umum HMI Cabang Jakarta periode 2000-2001. semoga tulisan ini bisa memperkaya perspektif untuk perbaikan pertrainingan HMI kedepan

Pada dasarnya, agama-agama yang dianut oleh manusia, menjanjikan dua hal bagi pemeluknya. Pertama adalah jaminan kehidupan sosial yang anti kedzaliman, penuh dengan kedamaian serta menga­kui hak-hak hidup sesama. Dalam hal ini agama diyakini mampu mengatasi persoalan-­persoalan sosial, politik dan atau tata kehidu­pan globa. Kedua, agama menjanjikan kehi­dupan pasca kematian yang mulia, di­identikkan sebagai pertemuan sejati antara manusia dengan Tuhannya. Di dalam Islam sendiri, dalam term AI Quran (dapat kita temui istilah fi dunya hasanah wa fil akhirati hasanah.

Klaim semua pemeluk agama akan implikasi positif dari penerapan ajaran agama­nya di muka bumi, menjadi niscaya dan wajar. Hal ini didasarkan atas keyakinan masing-­masing, jikalau agama yang dipeluknya adalah way of life. Pertanyaan yang muncul, manakah agama yang syah dan terbukti dapat mengata­si semua persoalan kemanusiaan di segala zaman.

Bagi umat Islam, klaim akan kebenaran agamanya adalah bagian dari jihad. Islam di­maknai sebagai aturan main yang mampu mengatasi berbagai persoalan, baik pribadi bahkan tata kehidupan dunia. Dengan Islam, persoalan hak asasi manusia, keadilan, eko­nomi, hubungan antar masyarakat dunia, bahkan persoalan-persoalan yang rumit sekali­pun pasti akan terjawab. Lebih lanjut, sadarkah umat Islam bahwa Tauhid sebagai way of life, atau hanya sebatas subordinasi dari kehi­dupannya. Ataupun kita dapat mengajukan pertanyaan lain, prinsip-prinsip bahkan aturan main teknis seperti apa yang menunjukkan bahwa Islam adalah konsepsi hidup.

Menanamkan cara pandang yang benar bahwa Islam adalah way of life, memerlukan kerja keras kaum-kaum tercerahkan. Melalui proses penyadaran, kaum intelektual berusa­ha mengembalikan cara pandang umat Islam dalam melihat dan memaknai Islam. Barang­kali, gagasan Islam kiri yang dilontarkan oleh Hasan Hanafi, merupakan salah satu bentuk sok terapi. Bila Islam adalah utuh dan tidak mengenal “kiri” dan “kanan”, maka paling tidak umat Islam dibawa pada sebuah kesadaran, bahwa secara realitas cara beragamanya umat Islam masih keliru. Menurut Hanafi, bila secara konsepsi Islam adalah utuh, namun dalam menghadapi persoalan kemanusiaan, umat Islam justru bersikap pasif, terbelakang dan konservatif. Dalam term politik, konservatif ini disebut “kanan”.

Tugas Intelektual Muslim
Dalam komunitas atau kelompok masyara­kat manapun, mereka yang dikategorikan pemikir, pemerhati dan atau kaum intetektual, berada dalam jumlah sedikit. Bahkan daiam ranah politik, kaum intelektual disebut sebagai kaum sempalan yang mencoba melawan arus, atau subversif. Namun demikian, mereka ada­lah kaum yang diberikan naluri, intuisi serta daya nalar yang tinggi, sehingga dapat melihat persoalan secara utuh. Merekalah yang selalu menemukan kesalahan-kesalahan sosial, ser­ta menunjukkan kepada publik, mana jalarl yang seharusnya dilakukan.

Fenomena kehidupan urnat Islam yang mengalami banyak keterbelakangan diberba­gai wilayah, memerlukan pemikiran serta kerja serius para intelektual muslim. Paling tidak, yang menjadi tugas utama kaum intelektual adalah bagaimana terjadinya perubahan cara berfikir urnat Islam. Oleh karenanya, perjua­ngan atau jihad yang mendasar adalah pencerahan.

Pencerahan sebagai jihad intelektual adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk rnensosialisasikan prinsip-prinsip keadilan, persamaan derajat dan yang terpenting adalah semangat perubahan. Medium yang diguna­kan adalah lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga kajian, pusat-pusat penyu­luhan masyarakat, pembinaan generasi muda, bahkan media massa.

HMI dan Upaya Intelektual
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri atas kesadaran intelektual kaum muda. Dalam tulisan Rusli Karim, HMI lahir karena melihat tiga persoalan, (1) Bangsa Indonesia menghadapi revolusi, (2) Situasi perguruan tinggi yang retak dalam melihat agama dan penge­tahuan, dan (3) Situasi ummat Islam Indonesia yang terpecah belah serta dihadapkan akan kerniskinan-kebodohan. Ini menunjukkan bahwa, HMI lahir atas kesa­daran sekelompok kecil kaum muda yang melihat berbagai persoalan di depan bangsanya

Perjalanan lebih lanjut, HMI selalu menunjukkan peran-peran positifnya ter­hadap bangsa. Peran terse­but secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua hal. Peran internal, yakni sejauhmana HMI berhasil membentuk pribadi-pribadi mahasiswa muslim, menjadi sosok-sosok pemikir dan pemimpin di masa depannya. Tidaklah heran, bila dalam pentas politik bangsa ini, kader HMI boleh disebut berhasil menguasai sentra­-sentra politik. Peran ekstemal, selain telah berhasil memunculkan banyak tokoh, HMI selalu tampil di depan demi menyuarakan kepentingan umat di depan kekuasaan sekali­pun. Hal ini pula yang telah menciptakan image bahwa kader-kader HMI adalah sosok yang kritis dan pahlawan kebenaran.

Hal penting yang telah menghantarkan peran-peran intelektual HMI, ialah model perkaderan atau pembinaan anggota. Maha­siswa muslim yang masuk menjadi anggota HMI diberikan pemahaman-pemahaman revo­litif, yang berpengaruh terhadap keyakinan dan prinsip perjuangannya. Di HMI mahasiswa muslim diberikan kekuatan doktrin akan Islam sebagai way of life, serta komitmen untuk menegakkan nilai-nilai Tauhid dalarn kem­dupan bermasvarakat dan bernegara.

Kecelakaan HMI
Perjalanan HMI dalam mewujudkan peran intelektualnya tidak mulus. Orde baru melihat HMI sebagai kekuatan kaum muda yang aktif, sarna berbahaya dengan barisan umat Islam lain yang konsisten dengan perjuangan Islam. Oleh karenanya, tahun 1983, rezim orde baru telah menciptakan kecelakaan bagi HMI, dalam bentuk Undang-Undang yang mengatur masalah azas organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Sejak saat itulah, HMI terpecah menjadi dua, satu yang mengi­kuti arus kedzaliman politik, dan satu lagi tetap konsisten dengan tujuan semula.

Akibat refresi politik orde baru, maka suara nyaring HMI menjadi surut terakomodir ke­kuasaan. HMi tidak lagi dianggap sebagai penyalur aspirasi urnat, bahkan justru menjadi lembaga yang memberikan legitimasi atas kesalahan-kesalahan orde barU. Yang menyedihkan adaLah, HMI­-MPO yang konsisten dengan pEran intelek­tualnya, pun tercemari dengan sikap akomo­datifnya HMI-Dipo.

HMI MPO dan Perannya

Sebagai kekuatan HMI, yang tetap konsis­ten dengan Islam sebagai azas, serta tidak mau berkompromi dengan kekuasaan, HMI­-MPO banyak memberikan makna dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Walaupun dalam term politik, HMI-MPO adalah “gerakan bawah tanah” namun secara nyata telah mem­berikan kontribusi positif. Kontribusi pertama adalah pembinaan genarasi muda, dan kedua adalah “provokator” perubahan.

Tujuan HMI-MPO adalah terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Ulul Albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT atau Baldhatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur. Daiam penggalan pertamanya, HMI berupaya mem­bina mahasiswa-mahasiswa muslim menjadi sosok-sosok berkualifikasi Insan Ulul Albab. Dan penggalan kedua, bahwa HMI bersama­-sarna organ masyarakat dan umat Islam lain, berupaya menegakkan kehidupan masyarakat yang thayyibah (baik, sejahtera, adil makmur) serta mendapat ridha Allah SWT.

Yang menjadi sorotan utama tulisan ini, ialah sejauh mana HMI-MPO melahirkan kader-kader berkualifikasi ulul Albab. Istilah Ulul Albab di dalam Al Qur’an, diterjemahkan seca­ra sederhana oleh masyarakat Indonesia sebagai kaum yang berakal dan betfikir. Namun menurut hemat penulis, hal ini salah kaprah karena tidak sesuai asal katanya. Kaum berfikir ialah uli Fikr dan kaum berakal ialah Uli Aql. Sedangkan untuk Ulul Albab penulis tidak menemukan padanan bahasa Indonesianya yang benar. Oleh karenanya, kita memberikan makna tersendiri atas istitah Ulul Albab.

Dalarn cara pandang HMI-MPO, sesuai ayat Al Our’am, Ulul Albab adalah mereka yang memperoleh kelebihan dari Allah SWT. Mere­ka adalah kaum yang dianggap mampu mengamati, menangkap fenomena­-fenomena sunnatullah, sehingga mampu menganalisa masa lalu serta merekayasa sejarah masa depan. Kaum Ulul Albab juga memiliki kernampuan transenden, sehingga rnereka adalah yang mapan dalam mencer­mati dan menciptakan sejarah, serta tidak mengalami “keterasingan” akibat kemajuan teknologi. Dalam istilah-istilah yang sering dilontarkan pada training-training, Insan Ulul Albab adalah mereka yang berdzikir dan berfikir.

Di HMI- MPO Insan Ulul Albab dimaknai juga sebagai kaum intelektual yang selalu haus akan pengetahuan, komitmen dengan kebenaran serta berani mengambil resiko. Doktrin Ulul Albab inilah, yang secara langsung telah mengarahkan kader-Kader HMI-MPO menjadi sosok-sosok yang kritis, berani menentang arus, komitmen dengan keyakinan, tidak takut menghadapi tirani mayoritas dan kekuasaan sekalipun, serta pantang menyerah.

Pembinaan generasi muda muslim di HMI-­MPO telah mewarnai pendidikan pada umum­nya. Bila perguruan tinggi hanya mampu mengajarkan mahasiswa pada persoalan-­persoalan teknis, HMI-MPO membina generasi muda pada persoalan-persoalan prinsip. Dengan demikian, walaupun perlu diteliti ulang, terdapat perbedaan antara kader-kader HMI-MPO di sebuah komunitas dengan mahasiswa lain yang hanya kuliah biasa, atau bila dibandingkan dengan aktifis lembaga-lembaga kemahasiswaan lain sekalipun. Penulis melihat perbedaan yang mendasar antara aktifis HMI-MPO dengan aktifis-aktifis lain, tentunya bukan hanya dalarn persoalan prinsip, tetapi juga teknis dan manajerial

Mengapa HMI-MPO Melahirkan Kader Yang Berbeda?
Pendidikan pada umumnya, dari sejak SD sampai Perguruan Tinggi, tidak jauh sebagai lembaga-lembaga formal yang tidak memanu­siakan manusia. Dalam bahasa Paulo Freire, sekolah hanya sebagai tempat transfer pe­ngetahuan dari buku ke otak manusia, dari otak guru ke otak muridnya dan atau dari suatu zaman ke zaman sekarang. Model seperti inilah yang disebut oleh Freire sebagai pendi­dikan gaya bank, yang rnenganggap manusia sebagai mesin data. Hasil yang diperoleh adalah generasi yang tidak mampu mengaktualisasikan potensi dirinya. Menurut Erich Fromm, pendidikan seperti ini telah menciptakan manusia terasing dengan dirinya, dan sernata berorientasi pasar. mengikuti trend dan mengindahkan naluri.

Pendidikan secara umum, juga telah memposisikan manusia sebagai robot-robot pasar, yang hanya siap bekerja pada “bos-­bos kapitalis”. Oleh karenanya tidak heran, jika banyak lulusan lembaga pendidikan yang hanya mampu “mencari kerja” bahkan menambah angka pengangguran bukan “menciptakan lapangan pekerjaan”. Ini diakibatkan oleh kesalahan pendidikan yang menutup potensi siswa bahkan mahasiswa.

Dalam perspektif lain, pendidikan juga melahirkan kaum-kaum ekslusif dan marginal. Dalam bahasa Ali Syri'ati, pendidikan telah membuat manusia “sok pintar” dan merasa lebih dibanding masyarakat lain. Kecende­rungan inilah yang telah memunculkan eksploi­tasi berdalih pembangunan, serta individualis­nya lulusan-lulusan sekolah. Menurut Syari'ati pendidikan tidak melahirkan lulusan-lulusan yang egaliter dan bersama-sama rakyat membangun negeri. Lulusan sekolah atau perguruan tinggi, justru berlomba mencari peluang untuk dapat memanfaatkan rakyat-­rakyat bodoh. Mereka hanya bisa ngomong dalam seminar, duduk di ruang profesor tanpa mampu menyentuh masyarakat

HMI-MPO menggunakan model pendidi­kan yang jauh lebih konstruktif dibanding pendidikan lain. Pendekatan yang digunakan antara lain (1) ldiologisasi, (2) Egalitarianisme, (3) Kebersamaan , serta (4) Pengakuan akan sesama. Oleh karenanya, pendidikan di HMI­-MPO melahirkan kader-kader yang memiliki keyakinan transendensi, mencintai sesama, semangat perubahan dan anti kemapanan, percaya diri dan memiliki kemapuan manajerial.

Kegiatan Pendidikan formal yang lazim di HMI-MPO, ialah disebut training atau pelati­han. Dalam training dasar, kita dapat melihat kurikulum sebagai berikut: (1) Ideologisasi, dalam bentuk penanaman keyakinan akan Tauhid. (2) Pengkondisian, membentuk watak keseharian. (3) Penugasan, pengujian mental dan kemampuan. (4) Pembekalan manajerial, pedoman berorganisasi/bermasyarakat sehari-hari. (5) Ke-HMI-an, upaya sosialisasi perjuangan HMI.

Militansi dan semangat perubahan “sarjana training HMI” dibentuk: bukan hanya karena kurikulum yang menantang, tetapi kondisi lain yang kondusif perlawanan. Dari segi finansial, penyelenggaraan training-training selalu diimbangi dengan keterbatasan finasial, akhimya “mahasiswa training” HMI-MPO berada dalam perjuangan fisik melawan “lapar” dan “dahaga”. lnilah faktor lain yang menimbulkan militansi. Dalam bahasa fisika, bila sebuah per (sejenis spiral besi) ditekan, maka per akan memberikan tekanan lebih kuat atas daya penekannya. Sebaliknya semakin lemah daya penekan, maka per akan bersikap lunak. Ini berarti bahwa ketika pendidikan di HMI dibarengi penderitaan, maka militansi pun akan terbangun.

Pola hubungan antar leader dengan penga­der di HMI-MPO juga mempengaruhi watak kader. Di HMI-MPO pengader menjadi contoh (figur) yang ditiru generasi barunya. Dengan demikian, pendidikan di HMI telah melahirkan kesadaran kolektif, egaliter dan saling mangontrol. HMI-MPO tidak melihat pendidi­kan sebatas kegiatan formal (training anggap saja sebagai sekolah), tetapi memperhatikan aspek sosiologis, yang justru berperan dalam menciptakan watak seseorang.

Belakangan ini, para pemerhati atau pakar pendidikan ribut, menyoal pendidikan apa yang produktif. Dalam buku Perguruan Tinggi Pesantren (1997), Wahjoetomo mengusulkan model “pengkondisian” seperti layaknya di sa­buah pesantren. Maksudnya adalah, materi pelajaran yang diberikan di ruang kelas harus dimbangi dengan pengkondisian emosi yang memungkinkan siswa dewasa. Dalam Quantum Learning, pendidikan juga dianggap baik bila siswa diberikan rasa percaya diri, memiliki prinsip hidup dan bertujuan. Seka­rang muncullah “Boarding School”, yang bila diteliti semuanya telah terdapat dalam pen­trainingan di HMI-MPO. Pettrainingan HMI-­MP0 dengan demikian menjadi model pendi­dikan alternatif, yang dapat dijadikan referensi bagi pemerhati-pemerhati pendidikan.



Monday, February 26, 2007

Upaya Meletakkan Dasar-dasar “Perkaderan Baru” HMI

Posted On 12:57 PM by Pengader Online 0 comments

Thres Sanctyeka

Sebuah tulisan yang dibuat oleh Kabid kader PB HMI 2001-2003. dalam tulisan ini termuat sebuah gagasan untuk menggeser perkaderan HMI yang ditenggarai berbau deduktif menjadi lebih induktif

HMI telah melewati berbagai kurun peristiwa yang melibatkan unsur umat Islam lokal maupun global, perjalanan negara Indonesia, dan unsur dunia global. Dalam setiap kurun tertentu, HMI selalu memiliki cara pandang dan perilaku yang khas tertentu pula. Dialektika berbagai cara pandang hingga sikap dan perilaku tersebut semakin dinamik setelah HMI memasang perkaderan di jantung organisasi. Mulailah kita memiliki berbagai isi, metodologi, dan cara-cara pembinaan kader yang disesuaikan dengan konteks tantangan perjuangan keislaman, keindonesiaan dan dunia global.

Sejak kelahiran hingga akhir 80’an, pada dasarnya secara nasional sikap politik HMI terhadap rezim pemerintahan adalah kooperatif. Sampai akhirnya kita memiliki pengalaman baru berupa sikap oposisi terhadap rezim Soeharto. Hal itu disimbolkan dengan penolakan HMI terhadap penerapan 5 (lima) paket UU politik khususnya UU no.8 tahun 1985 yaitu tentang asas tunggal Pancasila. Sayangnya sikap oposisi itu tidak utuh, maka mekarlah HMI menjadi dua. HMI Dipo menerima UU tersebut dan tetap melanjutkan tradisi kooperasi, sementara HMI (mpo) memilih pengalaman baru (oposisi). Sejak itu, dimulailah kompetisi antar keduanya dalam berbagai hal dan amat berharap akan keberpihakan kebenaran sejarah.

Jika diteliti lebih cermat benih sikap HMI (mpo) tersebut mulai tertanam seiring dan dikatalisasi oleh masuknya berbagai perkembangan pemikiran keislaman (perlawanan terhadap sekularisme), kiri (perlawanan terhadap kapitalisme dunia) serta perjuangan umat Islam lokal (peminggiran umat Islam oleh Soeharto) maupun global (kemenangan revolusi Iran terhadap kapitalisme global, pencanangan abad ke-15 sebagai kebangkitan umat Islam, gerakan ikhwanul muslimin, dll). Hingga kini, sikap inipun sepertinya masih berakar kuat di benak kita.

Dengan cara oposisinya yang unik (gerakan intelektual hingga merembet ke gerakan politik penjatuhan Soeharto), secara moral setidaknya HMI (mpo) memiliki hak sejarah untuk melanjutkan perjalanan umat Islam dan negara Indonesia ke depan. Satu hal yang menarik dari perjalanan panjang tersebut adalah sikap kepeloporan yang ditanamkan oleh para pendahulu kami (Prof Lafran, Cak Nur, dll). Kepeloporan itu meliputi kemampuan kita dalam menemukenali semangat zaman dan memulainya dengan cara pandang, pemikiran, dan berbagai tindakan yang prospektif dan antisipatif. Setahap lebih maju dari zamannya. Pertanyaannya, mampukah kita meneruskan tradisi ini?

Perkaderan deduktif?
Point penting dari uraian sosot balik di atas untuk kepentingan tulisan ini adalah upaya mengidentifikasi sifat dan bentuk perkaderan HMI (mpo) dalam kurun pengalaman oposisinya. Beberapa faktor penting yang perlu diketengahkan untuk kepentingan identifikasi tersebut meliputi pola gerakan mahasiswa pasca NKK/BKK, represi rezim Soeharto terhadap rakyat secara umum dan umat Islam secara khusus, dan dinamika gerakan Islam dan kapitalisme dunia.

Pasca NKK/BKK, gerakan mahasiswa menjadi sangat sulit mengisi ruang demokrasi. Proses transformasi terhadap struktur dan kultur dari suprastruktur dan infrastruktur masyarakat dan negara Indonesia seakan berhenti. Ruang berpendapat amat sempit dan mayarakat dilanda ketakutan umum dikarenakan rezim yang makin otoriter. Di atas tanah tidak ada lagi kehidupan, dan yang tersisa adalah di bawah tanah. Pola gerakan mahasiswa yang paling aman berupa letupan sporadis dalam bentuk kesatuan-kesatuan “aksi” serta kelompok-kelompok diskusi “wacana” (kanan fundamentalis hingga kiri radikal) di kampus maupun di kost secara kontinyu. Dalam kondisi seperti ini gerakan mahasiswa di Indonesia yang secara historis memiliki peran menjadi tumpul dan lembaga swadaya masyarakat timbul. Di mulailah era di mana LSM dapat bergerak lebih leluasa walaupun juga terbatas.

Suasana umum seperti itu mendeterminasi bentuk pilihan gerakan kemahasiswaan dan keislaman HMI. Dikarenakan terbatasnya ruang kreasi experimentasi publik (induksi) akhirnya HMI jatuh pada gerakan seperti di atas yang bersifat deduktif. Kewajiban mengakomodasi gerakan Islam (konsekuensi penolakan HMI terhadap ATP) sempat membawa masyarakat HMI menjadi puritan dan purifikatif. Antisipasinya berupa intelektualisasi alam pikiran kader agar mampu menyerap hal-hal yang bersifat pluralis. Ephoria abad kebangkitan Islam dan kemenangan revolusi Islam Iran terhadap kapitalis USA memberi kepercayaan diri baru bahwa sumber-sumber otentik keislaman mampu melawan hegemoni dunia. Akhirnya perkaderan terbawa kepada upaya pengkajian berbagai pemikiran keislaman yang memberi semangat perlawanan.

Kelompok diskusi dan kesatuan-kesatuan aksi yang terbentuk di HMI tidak terlepas dari tema-tema di atas. Modus pertama lebih mendominasi perkaderan HMI. Dalam konteks ini, kita cukup beruntung ketika aktifitas pengkajian sumber-sumber otentik keislaman dalam rangka melawan hegemoni global dan lokal tersebut secara bertahap dibawa kepada dimensi esoterik, kelimuan (epistemologi), peradaban, budaya, dan berujung pada gerakan politik penjatuhan rezim. Kita bisa konfirmasi hal tersebut pada muatan, metodologi dan metode pada basic training, intermediate training, advance training, dan senior course. Tergambar bebas bahwa pengalaman perkaderan dan perjuangan HMI terhadap rentetan masalah dan rentetan peristiwa selama kurun oposisi tersebut berproses secara deduktif. Gerakan intelektual menjadi simbolnya.

Sesuai dengan fitrahnya, deduksi dan watak oposisi selalu mengedepankan unsur kritis-analitis. Judgement lebih sering terjadi. Modus tersebut memang cocok dengan konteks tantangan di mana orde baru amat represif dan kapitalisme dunia yang angkuh. Pertanyaan selanjutnya adalah setelah lingkungan eksternal sedikit bergeser; di mana hegemoni lokal tergusur sehingga balon ephoria meletus diikuti dengan kesusahan yang akan panjang oleh seluruh bangsa Indonesia; apakah modus tersebut cukup mampu menolong kakek, ayah, anak, cucu, dan tetangga kita semua?

‘Amal sholeh HMI sedang dibutuhkan. Oleh karenanya diperlukan experimentasi berbagai variasi, derivasi, atau bahkan transplantasi ke perkaderan HMI. Tentunya harus dibarengi dengan proses kritik dan analisa yang bebas dan mendalam terhadap muatan Khittah Perjuangan, Pedoman Perkaderan, Pedoman Dasar Organisasi untuk dapat menemukan elan vital, metodologi dan bentuk-bentuk perkaderan dan perjuangan masa kini dan masa depan serta design organisasi yang compact and compatible untuk melaksanakannya. Buntut outputnya adalah wajah baru, afeksi baru, perilaku baru, positioning baru, dan bukan make up baru!!!


Sunday, February 25, 2007

Game: Kerjasama tim

Posted On 12:56 PM by Pengader Online 0 comments

Dalam sebuah pelatihan, peran pemandu dalam mendorong terbangunnya kekompakan antar peserta sebagai bagian dari sebuah tim sangat penting. Berikut beberapa game untuk memenuhi kebutuhan tersebut

Sepatu Lapangan
Permainan ini bermanfaat untuk mendorong proses kerjasama Tim, bahwa dalam sebuah tim setiap orang akan belajar mendengar pendapat orang lain dan merekam masing-masing pendapat secara cermat dalam pikirannya, sebelum memutuskan pendapat apa yang terbaik menurut kelompok.
Langkah–Langkah
1. Bagilah peserta ke dalam kelompok–kelompok kecil (5–6 orang), 1 orang akan menjadi pembicara kelompok.
2. Mintalah setiap kelompok untuk mendiskusikan tentang sepatu lapangan apa yang cocok untuk bekerja di ‘lapangan’ dan peralatan apa lagi yang dibutuhkan (waktunya sekitar 5 menit)
3. Mintalah pembicara kelompok untuk mengingat pendapat yang berbeda dan pendapat yang sama dari setiap orang di kelompoknya masing-masing.
4. Mintalah pembicara kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi ini sekaligus memperkenalkan nama anggota kelompoknya dan apa pendapat orang–orang tersebut mengenai topik diskusi di atas.
5. Setelah semua kelompok selesai, kemudian diskusikan : Apakah pembicara telah menyampaikan pendapat semua anggota kelompoknya secara tepat? Apa yang dikurangi? Apa yang ditambah? Apa yang tidak tepat.


Kalimat Sulit
Langkah–Langkah :
1. Siapkan beberapa kata, dan tulis setiap kata dalam sebuah kartu metaplan
2. Bagilah peserta menjadi dua tim
3. Letakkan kartu yang telah ditulisi tersebut di lantai (termasuk kata–kata yang saling berhubungan)
4. Kedua tim membuat kalimat dengan menggunakan kartu–kartu tersebut.
5. Seorang anggota tim memulai sebuah kalimat dengan kata yang pertama, yang lainnya mengikuti secara bergantian hingga kalimatnya selesai. Satu kata di dalam kalimat bernilai 5 poin bila kalimatnya benar.
6. Bila kalimatnya salah maka setiap kata yang salah kehilangan 5 poin. Bila seluruh kalimat menjadi tidak bermakna tim tersebut kehilangan 50 poin. Bila kalimatnya merupakan kalimat yang belum sempurna maka tim tersebut kehilangan 25 poin. Setelah setiap kalimat selesai, letakkan kembali kartu kata–kata untuk digunakan oleh peserta yang lain.


Kompak
Permainan ini bermanfaat untuk menghangatkan suasana dan membentuk suasana kerja dalam Tim.
Langkah–Langkah
1. Jelaskan kepada peserta aturan permainan ini
2. Bagilah peserta ke dalam 5–6 kelompok, yang penting satu kelompok terdiri dari 6 orang.
3. Mintalah masing–masing kelompok untuk membuat lingkaran dan satu orang anggota dari masing-masing kelompok untuk berdiri di tengah–tengah kelompoknya.
4. Katakan bahwa permainan ini untuk menguji kita, apakah di antara teman-teman dalam kelompok itu saling percaya kepada TIM KERJA KITA. Yang berdiri di tengah harus menutup matanya, dengan ditutup kain, kemudian menjatuhkan diri secara bebas kearah mana saja.
5. Sementara itu teman-teman dalam kelompoknya melingkar dan harus bertanggungjawab atas keselamatan teman yang di tengah tadi, karena permainan ini bisa–bisa akan memakan korban, maka jika yang di tengah menjatuhkan diri kepadanya dia harus siap dan bertanggungjawab untuk menahan dan melemparkannya kepada teman yang lain. Begitu seterusnya, dan minta siapa yang di tengah bisa bicara dengan cara bergiliran .


Bercermin
Langkah–langkah :
1. Minta setiap peserta untuk berpasangan, 1 orang menjadi bayangan di cermin dan 1 orang menjadi seseorang yang sedang berdandan di depan cermin.
2. Bayangan harus mengikuti gerak–gerik orang yang berdandan.
3. Keduanya harus bekerja sama agar bisa bergerak secara kompak dengan kecepatan yang sama.
4. Minta peserta untuk mendiskusikan apa pesan dalam permainan ini.


Saturday, February 24, 2007

Game: Menghangatkan Suasana

Posted On 12:53 PM by Pengader Online 0 comments

Dalam sebuah pelatihan, terkadang kita menghadapi suasana peserta pelatihan yang jenuh dan mengantuk. Hal ini bisa mempengaruhi dinamisasi proses latihan. Berikut beberapa game yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi masalah tersebut

Badai Berhembus
(The Great Wind Blows)
Strategi ini merupakan icebreaker yang dibuat cepat yang membuat para peserrta latihan bergerak tertawa. Strategi tersebut merupakan cara membangun team yang baik dan menjadikan para peserta lebih mengenal satu sama lain.
Petunjuk :
1. Aturlah kursi–kursi ke dalam sebuah lingkaran. Mintalah peserta untuk duduk di kursi yang telah disediakan.
2. Jelaskan kepada peserta aturan permainan, untuk putaran pertama pemandu akan bertindak sebagai angin.
3. Pemandu sebagai angin akan mengatakan ‘angin berhembus kepada yang memakai – misal: kacamata’ (apabila ada beberapa peserta memakai kacamata).
4. Peserta yang memakai kacamata harus berpindah tempat duduk, pemadu sebagai angin ikut berebut kursi.
5. Akan ada satu orang peserta yang tadi berebut kursi, tidak kebagian tempat duduk. Orang inilah yang menggantikan pemandu sebagai angin.
6. Lakukan putaran kedua, dan seterusnya. Setiap putaran yang bertindak sebagai angin harus mengatakan ‘ angin berhembus kepada yang …………. (sesuai dengan karakteristik peserta, misal : baju biru, sepatu hitam, dsb)


Lempar spidol
Permainan ini bertujuan untuk menghangatkan suasana dan menghilangkan kekakuan antar peserta dan pemandu dan antar peserta sendiri . Pelajaran yang bis adipetik dari permainan ini adalah perlunya sikap hati–hati dan cepat tanggap.
Langkah–Langkah :
1. Mintalah semua peserta berdiri bebas di depan tempat duduk masing-masing.
2. Minta peserta bertepuk tangan ketika anda melemparkan spidol ke udara, dan pada saat spidol anda tangkap lagi dengan tangan, semua peserta serta merta diminta berhenti bertepuk tangan. Ulangi sampai beberapa kali.
3. Ulangi proses ke-2 dengan tambahan selain bertepuk tangan juga bersenandung. (bergumam ) : “Mmmmm….!”.
4. Ulangi proses ke–3 ini beberapa kali, dan setiap kali semakin cepat gerakannya, kemudian akhiri dengan satu anti klimaks : spidol anda tidak dilambungkan, tapi hanya melambungkan tangan seperti akan melambungkannya ke atas (gerak tipu yang cepat!). Amati: apakah peserta masih bertepuk tangan dan bergumam atau tidak
5. Mintalah tanggapan dan kesan, lalu diskusikan dan analisa bersama kemudian simpulkan.


Friday, February 23, 2007

Game: Perkenalan

Posted On 12:50 PM by Pengader Online 0 comments

Dalam sebuah pelatihan, sesi perkenalan merupakan sesi awal yang kelihatannya sederhana, namun sesungguhnya keberhasilan mengolah sesi ini sangat berpengaruh pada keberhasilan sebuah pelatihan. Berikut beberapa game yang bisa membantu membuat sesi perkenalan menjadi lebih enjoy

pertama: Siapa Dia ?
Petunjuk :
1. Minta semua peserta untuk berdiri dan membentuk lingkaran
2. Minta seorang peserta untuk memperkenalkan nama dan satu hal lain mengenai dirinya dalam bentuk satu kalimat pendek (tidak boleh lebih dari 6 kata), misal: Nama saya Retno, fakultas ekonomi. Nama saya Rachman, dari STIE.
3. Mintalah peserta kedua untuk mengulang kalimat peserta pertama, baru kemudian memperkenalkan dirinya sendiri, misal : teman saya Retno, fakultas ekonomi, saya Mika, STIMIK
4. Peserta ketiga harus mengulang kalimat 2 peserta sebelumnya sebelum memperkenalkan diri, demikian seterusnya sampai seluruh peserta memperoleh gilirannya.
5. Apabila peserta tidak dapat mengingat nama dan apa yang dikatakan 2 peserta lainnya, maka ia harus menanyakan langsung pada yang bersangkutan: ‘siapa nama anda?’ atau ‘siapa nama anda dan apa yang anda katakan tadi?’


KEDUA: Kisah Angka Angka
Permainan ini dipakai agar peserta mengenal satu sama lain dengan cara santai dan menghapuskan kekakuan.
Langkah-Langkah :
1. Mintalah seluruh peserta berhitung dari nomor 1 dan seterusnya sampai selesai (habis)
2. Minta setiap peserta mengingat nomor urutnya masing-masing dengan baik, jika perlu lakukan pengujian dengan menyebut secara acak beberapa angka dan minta peserta yang disebut nomornya utntuk menyahut ‘ya’!, atau tunjuk beberapa orang peserta secara acak dan tanyakan ia nomor urut berapa.
3. Tegaskan sekali lagi apakah mereka benar–benar mengingat nomor urutnya masing–masing.
4. Setelah yakin, jelaskan bahwa anda akan menyampaikan suatu berita atau suatu cerita tertentu di mana dalam sepanjang cerita itu akan disebut sejumlah angka–angka. Peserta yang disebut angka atau nomor urutnya diminta segera berdiri dan langsung meneriakkan namanya keras–keras kepada seluruh peserta lain. Jika terlambat 3 detik, peserta dikenakan hukuman ramai–ramai oleh peserta lain.
5. Tanyakan kepada peserta apakah mereka paham peraturan tersebut?, jika perlu ulangi sekali lagi dan berikan contoh.
6. Mulai bercerita, misalnya : saudara–saudara, latihan ini sebenarnya sudah direncanakan sejak lima bulan yang lalu, tapi karena beberapa hal, barulah tiga bulan yang lalu ada kejelasan dan kemudian dipersiapkan oleh delapan orang panitia ……….. dst. Atau cerita lain yang anda karang sendiri pada saat itu (yang penting, dalam cerita itu ada disebutkan angka–angka nomor urut peserta setiap satu kalimat atau setiap selang satu menit).
7. Lakukan sampai separuh peserta tersebut nomornya atau seluruhnya (bergantung kepada kecepatan anda dan peserta dan sesuai dengan waktu yang tersedia)
8. Lakukan diskusi dengan peserta tentang apa makna permainan ini dan dapat digunakan untuk apa saja dalam kegiatan latihan, termasuk perasaan–persaan peserta sendiri.
9. Simpulkan


KETIGA: Mencari Jodoh
Petunjuk :
1. Buatlah kalimat pendek yang berhubungan dengan materi pelajaran yang akan diberikan , misal : Bersama Membangun Kepedulian. Kalimat yang dibuat sebanyak setengah dari jumlah peserta, kalau peserta 20 orang, harus disediakan 10 kalimat.
2. Pecahlah kalimat tersebut ke dalam dua bagian dan ditulis di kertas, satu kertas berisi kalimat Bersama Membangun dan satu kertas berisi kata Kepedulian.
3. Gulunglah kedua kertas yang berisi tulisan tadi.
4. Bagikan kertas–kertas tergulung yang sudah disiapkan sebanyak jumlah peserta (apabila peserta ganjil, satu orang berpasangan dengan pemandu sendiri)
5. Minta peserta untuk membuka gulungan kertas masing–masing dan membaca isinya yaitu sepotong kalimat yang belum lengkap.
6. Minta peserta untuk mencari pasangannya masing–masing agar kalimat itu menjadi lengkap.
7. Minta setiap pasangan berkenalan dan mendiskusikan arti kalimat tersebut.
8. Minta peserta berkumpul lagi dan meminta setiap pasangan memperkenalkan pasangannya dan menyampaikan arti kalimat kepada peserta yang lain.


KEEMPAT: Berdirilah Jika …………
Petunjuk :
1. Minta semua peserta untuk duduk membentuk lingkaran, lalu pemandu berdiri di tengah.
2. Jalaskan kepada peserta bentuk permainannya, yaitu setiap pemandu mengucapkan kalimat, peserta menyimak kalimat, peserta diminta berdiri apabila kalimat itu sesuai dengan dirinya; misal : “ Keluarga saya adalah keluarga pedagang….. “; “ Saya seorang perempuan yang berani bicara di depan publik……. “ dsb.
3. Ucapkan kalimat–kalimat yang relevan dengan keadaan peserta (jangan sampai ada peserta yang tidak pernah berdiri), contoh–contoh kalimat misalnya :
@ Saya adalah anak pertama
@ Saya lahir di pedesaan
@ Saya lahir di kota besar
@ Saya memiliki hobby membaca, dsb
4. Setelah selesai, minta seluruh peserta untuk memperkenalkan nama, asal, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya secara singkat.


KELIMA: Adu Panjang, Besar dan Tinggi
Permainan ini bermanfaat untuk membuat suasana menjadi segar dan menumbuhkan semangat baru.
Langkah–Langkah
1. Ajaklah semua peserta berdiri dan minta mereka membagi diri menjadi 2 – 3 kelompok.
2. Susunlah 3 kelompok itu secara berjajar. Lalu jelaskan bahwa 3 kelompok itu akan berlomba satu sama lainnya untuk masing-masing perintah dari wasitnya (berperan sebagai wasit adalah pemandu atau salah seorang peserta).
3. Setelah semua menyiapkan kelompoknya masing–masing, segera mulai permainan. Misalnya:
@ Berlombalah untuk membuat barisan terpanjang tanpa terputus
@ Atau buatlah kelompok anda menjadi yang paling tinggi
@ Buatlah lingkaran kelompok besar.
Catatan :
1. Jangan memberi komentar bahwa mereka berhak menggunakan apa saja untuk menang dan menjadi kelompok yang tertinggi, terlebar dan terpanjang. Misalnya jika saat lomba ada peserta laki–laki yang sampai melepas kaos kaos untuk digunakan sebagai penyambung tangan supaya barisannya paling panjang. Biarkan saja, itu hak dia untuk secara kreatif memenangkan lomba.
2. Jika selesai permainan, anda bisa menanyakan, misalnya ; “kenapa kelompok A bisa mancapai panjang hingga ke luar ruangan padahal anggotanya sama-sama 5 orang, itu untuk membuat peserta menikmati permainan dan melihat sesuatu yang tidak sekedar permainan”.


Thursday, February 22, 2007

Game: Partisipasi

Posted On 12:43 PM by Pengader Online 0 comments

Dalam sebuah pelatihan yang partisipatorik, peran pemandu untuk mampu merangsang subyek pelatihan agar terlibat secara aktif sangat dibutuhkan. Hal ini juga dipengaruhi sejauhmana seorang pemandu memahami cara yang mudah diterima mereka

MENGHITUNG MUNDUR
Permainan ini bisa dipakai untuk merangsang peserta dalam memilih metode pelatihan yang mereka sukai.
Langkah–Langkah
1. Minta peserta untuk berdiri mambentuk suatu lingkaran. Setiap peserta menghitung secara bergiliran mulai dari 1 sampai 50 (atau sejumlah peserta)
2. Pada saat menghitung, minta peserta memenuhi peraturan : setiap angka ‘tujuh’ atau ‘kelipatan tujuh’, angka itu tidak disebutkan, melainkan diganti dengan tepuk tangan.
3. Apabila ada peserta yang salah melaksanakan tugasnya, maka permainan dimulai dari awal.
4. Sesudah 3–4 ronde, permainan tahap 1 selesai
5. Permainan tahap–2 dimulai dengan cara yang sama seperti di atas, tetapi hitungannya dimulai dari angka 50 mundur terus sampai dengan angka 1. Peraturan yang diterapkan juga sama, yaitu setiap angka ‘tujuh’ atau angka ‘kelipatan tujuh’, angka itu tidak disebutkan, melainkan diganti dengan tepuk tangan.
Setelah 3-4 ronde, permainan selesai.
6. Minta peserta untuk mendiskusikan : (1) Manakah yang lebih baik banyak terjadi kesalahan, cara 1 atau cara 2? (2) Mengapa demikian? (3) Kira-kira, apa hubungannya permainan ini dengan cara kerja kita dalam pelatihan kita (apakah mudah mengganti kebiasaan pendekatan dari atas dengan yang dari bawah)?


Memahat Patung
Permainan ini bisa dipakai untuk menyadarkan peserta bahwa manusia tidak bisa dibentuk sedemikian rupa oleh orang lain.
Langkah–Langkah
1. Minta beberapa orang peserta untuk tampil ke depan;
2. Minta satu orang untuk menjadi pemahat patung, satu orang lainnya menjadi patung itu sendiri.
3. Minta pemahat patung untuk mulai bekerja menjadikan patung itu sesuai dengan keinginannya dengan cara membimbing posisi kepala, kaki, tangan, tubuh patungnya (misal : tangan kanan ke atas, tangan kiri memegang kepala, lutut kanan bertumpu di lantai, kepala belok ke kiri, dsb)
4. Minta patung untuk menuruti semua posisi yang diminta oleh pemahat (selama proses, pemahat dan patung tidak boleh saling berbicara)
5. Setelah selesai, ajukan pertanyaan kepada para pemahat : Apakah menyenangkan membuat patung sesuai keinginannya sendiri?
6. Ajukan juga pertanyaan kepada para pemahat : Apakah menyenangkan untuk dibentuk sedemikian rupa oleh orang lain ?
7. Kemudian diskusikan bersama peserta : Apakah manusia bisa dibentuk sedemikian rupa oleh orang lain? Apakah anak–anak bisa? Apakah orang dewasa bisa? Bagaimana tanggapan peserta tentang permainan ini ?


Tuesday, February 20, 2007

GRAND STRO-TEDI

Posted On 9:12 PM by Pengader Online 0 comments

DIN PROSPEK PERKEDERAN (PUSING) HMI
Oleh Muhammad Fathi (Pete), S.Pd.

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan senantiasa melakukan upaya yang terus-menurus mendinamisir gerakannya ditengah umat --dalam pentas sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Terpecahnya HMI menjadi HMI-MPO dan HMI-DIPO merupakan keniscayaan historis yang oleh sebagian umat dan kader HMI sebagai sesuatu yang prinsip dan sebagaiannya lagi menyebutnya sebagai kecelekaan sejarah dan indikator tindakan kuat perpecahan umat. Kelompok umat yang kedua –yang melihat HMI berpecah sebagai perpecahan umat—sepertinya menjadi arus yang kuat, dimana alasan pertama seolah-olah apa yang dilakukan oleh kader-kader HMI-MPO dan terlebih pengurus kali ini tidak dianggap oleh mereka itu sebagai tindakan yang layak dihargai. Perpecahan tersebut --misalnya Adi Sasono dan beberapa tokoh yang lainnya menyebutnya sempalan— menjadi hal yang masih kuat, ditambah lagi dengan -–keadaan kini pada Kongres Jambi— HMI-DIPO telah kembali ke azas Islam.

Sebenarnya, kader HMI tidak mesti harus ikut larut dalam cara pandang permukaan dan tendensius dan mengasikan itu. Walaupun harus diperhadapkan pada kenyataan bahwa alumni DIPO ada juga yang baik --tampil-- serta alumni MPO ada pula yng terlibat dalam pola dan karakter yang tidak terpuji. Sehingga jika seseorang yang katakanlah itu mengawal MPO berdiri tidak tampil sebagaimana layaknya yang dinginkan pada perkaderan dan perjuangan HMI-MPO maka seluruh eksistensi HMI-MPO dinisbahkan kesana. Kader HMI-MPO yang tidak begitu dapat berperan dan menjadi publik opini –layaknya PDI-P—menyebabkan disatu sisi dimata publik terkesan hanyalah gerakan yang tidak begitu berarti dan tidak berperan besar dalam perubahan bangsa ini.

Ada berbagai faktor yang dapat dijadikan alat koreksi bagi kader HMI-MPO khususnya kalangan pengurus. Pertama, Klaim publik mestikah selalu dijadikan standar kebenaran. Kedua, Benarkah HMI-MPO kehilangan common enemy dan kecolongan sejarah pasca DIPO menerima azas. Ketiga, Apakah napak tilas alumni sudah seharusnya menjadi indikator akan eksistensi HMI-MPO kini. Keempat, Kelemahan apa yang sesungguhnya dialami oleh kader HMI_MPO dan khususnya pengurus yang dapat disebut menurunkan greget perjuangan dan eksistensi institusi. Kelima, Apakah kita –kader HMI MPO— perlu tetap mengangendakan rekonsiliasi, reunifikasi atau tidak sama sekali atau membiarkan sejarah yang bicara sendiri. Dan Keenam, benarkah HMI-MPO dapat disebut sebagi indikator perpecahan umat atau sebaliknya pejuang keadilan dan kebenaran.
* * *
SEMENTARA, Keadaan bangsa ini masih terus dalam suasana tidak stabil. Sehingga perlu difikirkan adanya upaya penyelesaian yang signifikan bagi negara dan bangsa ini. Bergesernya kecenderungan elit politik dari upaya real menuntaskan agenda reformasi kearah yang hanya sibuk dengan konflik kepentingan dan positioning, menyebabkan bangsa ini hanya mampu terbawa dari masalah ke masalah tanpa ada penyelesaian. Utang luar negeri yang semakin menumpuk diperparah dengan kebijaksanaan otonomi daerah yang hanya mengalihkan tanggung jawab dan peluang penyimpangan ke daerah. Ini dibuktikan dengan tidak begitu seriusnya mengantisipasi kesiapan lokal pemantauan secara efektif dan bersih pelaksanaan maupun SDM-nya.

Berbagai agenda yang berkenaan dengan reformasi belum menunjukkan signifikansinya. KKN masih tetapi terjadi dalam berbagai bidang dari elit lapisan masyarakat bawah, posisi militer dalam peran sosial politik belum dituntaskan, lemahnya penegakan supermasi hukum, kultur feodalistik yang masih mengakar di daerah dan rakyat bawah yang sangat berpeluang untuk terjadinya pengeksploitasian terhadap hak milik rakyat dan mobilitas kepentingan. Tidak terakomodirnya kultur demokratis dan penguatan masyarakat madani yang seharusnnya dapat memberi andil signifikan bagi bangsa ini. Karakter anak bangsa yang berfikir positif bagi penegakan hak-hak rakyat dan mampun mengakomodir kepentingan umat sacara adil dan benar tidak menjadi agenda besar bagi berbagai elemen penting bagi bangsa. Sehingga untuk terus melakukan koreksi bahkan mencari jalan keluar, harus terus menerus diusahakan.

Demikian halnya interpensi pihak luar dalam bentuk pemapanan ketergantungan terhadap negara-negara donor masih terus berlansung. Banyak pengamat yang menuduh seolah-olah bahwa apa yang terjadi di negeri banyak dipengaruhi pula oleh arus globalisasi dimana hegemoni negara-negara maju dan super power semakin kuat. Sehingga dapat dipastikan bahwa negara-negara dunia berkembang akan terus dicenkeram oleh suasana yang demikian itu. Hal ini akan ditambah lagi dengan pasar bebas dan kuatnya arus informasi dimana publik dengan mudah dapat dipengaruhi cara pandangnya dan dikonstruksi dalam sentimen kepentingan pasar –alias masyarakat konsumeristik.
* * *
HMI-MPO sebagai bagian elemen masyarakat harus tetap dan senantiasa menjadi elemen yang kritis dan bahkan kalau perlu dapat menawarkan solusi bagi publik dan bangsa. Sebagai elemen kritis HMI memegang posisinya sebagai moral force. Dan sebagai elemen pembaharu dan transformator maka HMI-MPO harus dapat menawar solusi dan terlibat dalam perubahan.

Sangat disayangkan, bahkan hal yang tidak bisa dibiarkan terjadi, manakalah semua unsur telah terakomodir dalam kekuasaan dan kepentingan –alias posisi. Sehingga sangat sulit untuk mengambil jarak yang fair dengan kekuasaan yang ada. Karena kepentingan itulah sehingga ia yang menjadi jargon bahkan ideologi yang menyemangati gerakan. Yang muncul adalah hanya pemikiran bagaimana menang dalam strategi apa saja –menghalalkan segala macam cara. Memang dogma suci dalam politik kekuasaan adalah menghalalkan segala macam cara dan mengharamkan tindakan yang jujur dan fair. Kalau ada elemen yang melakukan demikian maka hal itu dapat disebut sebagai elemen yang kalah sebelum bertanding. Itulah ‘sabda sosial’ dalam pentas real politik di negeri ini.

Apa masalah yang paling mendasar di negeri ini? Bagaimana menyelesaikannya? Dari mana harus memulai? Siapa lawan yang dapat menjadi common enemy sesungguhnya? Langkah apa yang paling tepat dan efektif dalam melakukan prubahan kearah masyarakat yang adil dan beradab? Setumpuk pertanyaan yang dapat dimunculkan termasuk apa dan bagaimana seharusnya HMI-MPO bertindak.
* * *
Ironis sekali, ditengah bertumpuknya masalah yang dihadapi dinegeri ini. Kaum yang menyebut dirinya reformis serta elemen mahasiswa yang kelihatannya lelah dan bosan bersuara diperparah lagi dengan sulitnya memilah, “mana yang menyuarakan suara murni nurani rakyat dan mana lagi yang menyarakan suara kepentingan yang membayarnya, semakin gamang dan menyulitkan untuk memilah dan memilih tindakan yang benar dan tepat dilaksanakan.

Dilain pihak, HMI-MPO ‘sibuk’ dengan klaim para senior dan pandangan elemen dan tokoh masyarakat yang terkadang merendahkan semangat bahkan mungkin energi pengurus yang mengawal himpunan. Sehingga terkadang kesan perpecahan dan jargon pemersatu dan kekuatan umat seolah-olah menegasikan keinginan luhur kader-kader HMI-MPO.

Padahal sebetulnya bila ditelaah lebih jauh, bahwa sikap yang dilakukan oleh HMI-DIPO dalam hal penerimaan azas dan sebagian besar partai-partai yang ada hanya lebih apada aspek strategis-politis dan bukan ideologis. Oleh karenanya sebagai derivasi dari itu, maka sudah barang tentu tidak menunjukkan pembentukan karakter dan sikap yang senantiasa secara obyektif melihat masalah diluar perspektif kebenaran, tetapi lebih pada kepentingan dan kekuasaan. Walaupun kebenaran sendiri terkadang membungkus kepentingan atau sebaliknya. Hal ini terbukti tidak adanya perubahan dalam aturan main kelembagaan yang dapat dipandang sebagai sikap yang serius kearah sana. Kalaupun hal itu ada, maka membutuhkan waktu untuk membentuk karakter dan kultur --termasuk yang dimaksud adalah situasi Kader HMI-DIPO.
* * *
Apa Yang Dapat Diperbuat HMI ?
HMI tidak pernah berpangku tangan membiarkan perubahan terjadi begitu saja. Justru setiap perubahan yang terjadi, HMI mesti telah terlibat andil dalam persiapan dan perekayasaannya. Memang harus diakui bahwa tidak ada perubahan yang terjadi pada negeri ini selain didalamnya merupakan ada unsur kerja sama antar elemen yang menghendakinya.

Oleh karenanya perlu pemetaan yang jelas terhadap masalah yang dihadapi. Pemetaan yang jelas itu baik dari konstitusi, pelaksanaan kebijaksanaan eksekutif, serta penentuan starting point yang menopang perubahan. Perubahan yang dimaksud tidak saja bermakna struktur dalam pengertian elit yang terlibat dalam kekuasaan, baik legislatif, yudikatif maupun legislatif, tetapi nilai –ideologi-- dan kultur juga membentuk mentalitas rakyat dan bangsa Indonesia. Terlepas dari perdebatan dan ketepatan pilihan istilah yang diambil, maka HMI-MPO mengemasnya dalam term REVOLUSI SISTEMIK.

Sebuah organisasi ditambah lagi kapasitasanya sebagai masyarakat ilmiah (baca : mahasiswa) dan kesungguhnya dalam mengawal perubahan --kearah lebih baik-- maka HMI-MPO memandang perlu bahwa setiap perubahan sekecil apapun juga sangat urgen untuk dipersiapkan. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi alasan, perlunya persiapan tersebut :

Pertama, Kalau sekarang ini dikenal ada reformis gadungan maka nantiya kalaupun ada kaum revolusionis maka itupun ada pula kaum revolusionis gadungan. Akibatnya sulit untuk memilah mana yang sesungguhnya menghendaki perubahan yang sebenarnya mana yang sekedar menyelematkan muka atau cari untungnya --apportunis. Kedua, Perubahan yang tidak dipersiapkan akan mengakibatkan ekses yang lebih besar yang biasanya yang menjadi korban dari semua itu adalah orang kecil yang tidak tahu sama sekali persoalan. Kendati pun itu dipersiapkan, and toh masih terkadang ditemukan juga ekses yang sulit terpantau dengan baik. Ketiga, perubahan yang baik sekalipun itu yang sifatnya pribadi maupun kolektif atau meliputi sebuah negara atau bangsa tanpa dipersiapkan cenderung tertolak bahkan sulit diterima. Oleh karenanya instrumen media sebagai sarana sosialisasi menjadi persyaratan yang cukup urgen yang dapat mengawal perubahan tersebut.

Melihat keadaan yang ada sekarang ini, menunjukkan bahwa hampir semua elemen umat dan termasuk diantaranya ‘mahasiswa’ terserap ke dalam kekuatan kekuasaan. Disatu sisi perubahan yang terjadi pada elemen tertentu yang hanya mengandalkan simbol-simbol tertentu pula baik atas nama rakyat, negara, perubahan atau bahkan agama tidak menunjukkan sesuatu yang signifikan sesuai dengan amanah reformasi –clean and good governance.

Tradisi pada era orde baru yang telah terlanjur menjadi karakter hanya berupaya dengan berganti kulit. Hal itu sama sekali tidak dapat disebut sebagai reformis yang sebenarnya yang diharapkan membawa prubahan yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Term revolusi, secara sederhana mengindikasikan perubahan radikal, total dan cepat. Bahkan ada yang menyebutnya berbahaya karena hal itu selalu dinisbatkan kepada suasana seperti perang saudara, kudeta berdarah yang kesannya adalah bauh amis darah dan menelan banyak nyawa korban manusia.

Namun HMI-MPO mengemas pilihan term revolusi sistemik sebagai pilihan term perubahan secara radikal, menyuluruh, dan cepat termasuk nilai, karakter dan budaya. sebagaimana banyak dipahami bahwa pelaku koruktor, manipulatif mengakar sampai kepada lapisan bawah. Lapisan elit yang dapat dijadikan sampel untuk masalah penuntasan KKN sebagaimana yang diamanahkan oleh TAP MPR No IX 1998 menunjukkan indikator sulit dan tidak terwujud. Selain mekanisme pengadilan yang cenderung hanya memainkan issue lewat pers, juga adanya regulasi yang cenderung memberi perlindungan dan jastifikasi pelakunya.—ini disebutkan sebagai judicial crime. Penegak hukum pun sulit ditemukan karena terlibat dalam jerat mapia peradilan yang telah demikian mengkarakter diberbagai lapasan masyarakat yang tergolong pelaksana hukum. Orde baru telah menjadi karakter tersendiri yang indikatornya adalah koruptor, manifulator, kolutif , menindas, militeristik serta cenderung pada tindak kekerasan. Karakter orde baru inilah yang walaupun berubah penampilan bagaimana tetap tak akan bersembunyi dan lari tradisi berbuat jahat. Oleh karenanya, kalau kemudian kita menghendaki adanya pemotongan atau bahkan pencabutan generasi (cut generation or taken off generation). Generasi dimaksud yang hendak dipotong bahkan dapat dicabut adalah generasi kalangan yang berkarakter orde baru.

Bagi daerah tertentu yang telah menetap penegakan syariat Islam --sebagai lokal identitasnya atau secara ideologis dan formal-- tidak diharapkan menjadi jargon dalam menina bobokkan masyarakat relegiusnya untuk kemudian mengesploitiasinya. Masyarakat setempat bisa terhipnoptis tanpa begitu mereka rasakan. Karena kalau memang menghendaki berlandaskan penegakan syariat Islam maka sekitar 96 % yang duduk dalam struktural telah terjebak dalam karakter orde baru. Yang artinya layak untuk diganti bahkan mungkin mendapatkan sanksi yang berat sekali. Sudah barang tentu apabila hal itu ditetapkan maka segala bentuk penyelewengan tanpa memandang bulu akan mendapat sanksi yang setimpal --alias terselesaikan. Namun kasus Pakistan dapat juga dijadikan pelajaran atas ketidak siapan elemen eksekutif.

Menanggapi hal demikian, maka HMI-MPO telah mendidik kadernya dalam melihat masalah untuk tidak terjebak pada suara mayoratas serta dapat memilih informasi yang benar dari yang diterimanya. Karenanya kader HMI-MPO demikian percaya dengan anugerah Allah berupa kapasitas intelektual, spiritual dan sosial yang dapat dijadikan instrumen dalam mengembang tugas tugas penghambaan dan Kekhalifahan-Nya.
* * *
Kendala Perkaderan dan Upaya Penyelesaiannya.
Secara real fenomena perkaderan HMI-MPO mengalami bias. Bias yang dimaksud lemahnya mengukur peningkatan kualitas dan kuantitas kader—berupa data base dan perkembangan perkadran mulai dari PB sampai komisariat. Sehingga tidak jarang ada ucapan yang sedikit iri, misalnya mengapa HMI-MPO tidak dapat mensolidkan kader seperti halnya KAMMI --kan berarti KAMMI sebagai ukuran atau model tetapi terkhusus dalam hal kesolidannya.

Apa yang diharapkan pada pedoman perkaderan dan gagasan yang terdapat dalam khittah perjuangan HMI-MPO serta aturan kelembagaan lainnya masih jauh dari harapan. Kalau kemudian dipertanyakan bahwa apa yang diharapkan masih jauh dari kenyataan.

Sebenarnya membandingkan antara HMI-MPO dengan KAMMI relatif sulit, meskipun keduanya itu adalah institusi Islam. Kalau tolak ukurnya adalah pada soliditas yang relatif dapat dilihat pada pilihan partainya dan mudahnya memobilisisi massa serta mudahnya mengambil alih kepemimpinan dikampus dengan basis massa yang jelas, maka hal itu boleh disebut unggul. Tetapi apabila tolah ukurnya adalah upaya mentolerir perbedaan, keunggulan dari segi ide, argumentasi dan mobilitas gerakan, sense politik obyektivitasnya serta keorganisasian dan kepemimpinan maka HMI-MPO masih layak dijadikan tolak ukur. Mengapa KAMMI solid? Pertama, karena keseragaman wacana. Kedua, Karena sistem penerimaan informasi dan kebenaran yang menggunakan sistem tarbiyah—alias cenderung monolog. Ketiga, Ketaatan kepada pemimpin yang kental. Kempat, Mengedepankan simbolitas bersama berupa penyeragaman cara pakaian dan sebagainya sebagai simbol dan identitas persamaan. Kelima, Salibis dan Zionis berikut yang terkait dengan itu menjadi common enemy-nya.

Lemahnya soliditas dari kader HMI-MPO berimplikasi pada kesulitan menampilkannya sebagai pemenang dan pelaku sejarah, dimana tradisi era kini yang banyak diangkat pers sangat dipengaruhi oleh tolak ukur kuantitas. Publik opini yang dikembangkan oleh pers seolah-olah telah menjadi bagian yang penting dalam menciptakan sejarah.

Sulitnya mengukur secara valid keadaan kader dan perkaderan, berbarengan pula dengan HMI-MPO (baca : pengurus) yang belum mampu menyediakan fasilitas atau instrumen bagi upaya pengaktualisasian potensi kader. Sehinggga anggota HMI hanya berupaya untuk mengoptimalkan waktunya disaat-saat luangnya saja untuk terlibat dan aktif di HMI. Walaupun ada menikmatinnya lebih jauh beraktivitas lewat HMI –khususnya yang memiliki jiwa organisatoris tinggi atau merasakan dalam interaksinya ada kesesuaian jiwa dengan HMI-MPO. Tetapi bila dirata-ratakan hanya seberapa persen mampu untuk bertahan dan mengambil peran. Hal ini dapat diukur dari besarnya yang direkrut dengan jumlah yang terlibat di HMI pasca LK I dan pelatihan lainnya. Apakah kita --pengurus-- hanya berapologi dengan alasan bahwa semuanya tergantung kesadaran. Termasuk diantaranya rekruitmen yang demikian lemah dan serba sedikit, dengan alasan, “biar jumlahnya sedikit yang penting berkualitas.” Hal itu sudah menjadi istilah usang yang harus digantung bersama dengan berlalunya masa silam.
* * *
Perbagai problem internal dan eksternal yang menjadi tantangan HMI-MPO untuk eksis dan lebih survive juga mengemban kewajiban untuk turut serta dalam perubahan. Pada saat yang bersamaan, berbagai agenda yang berhubungan dengan kepentingan publik --rakyat bawah— dan juga ekstensi dan aktualitatas kader harus mampu dapat terakomodir oleh HMI-MPO. Oleh karenanya sebagai pengurus lembaga diberbagai jenjang kepengurusan –walaupun dirasakan terjerat oleh kurung waktu kepengurusan yang relatif singkat dan sarana prasarana terbatas— tetap harus mampu merumuskan dan mengambil tindakan real dalam merespon berbagai hal tersebut. Sehingga keterlibatan di HMI-MPO dapat menjadi komunitas yang solid yang dapat mengayomi satu sama lain terlibat baik selama menjadi anggota maupun setelah alumni –alias terbentuk peguyuban yang tidak kehilangan sisi orisinalitasnya sebagai organisasi yang terkonsentrasi pada masyarakat ilmiah dan bersentuhan langsung dengan agenda kemasyarakatan dan kebangsaan. Walaupun sebagian kalangan pengurus HMI-MPO melihat bahwa tantangan ril perkaderan sesungguhnya adalah pada pasca kepengurusan atau setelah menjadi alumni. Cara pandang seperti ini –walaupun dalam perspektif konsistensi kader dan kesinambungan perkaderan, dapat dibenarkan— namun jangan sampai ada kesan lain bahwa melakukan peran di lapangan atau di masyarakat nanti setelah menjadi alumni. Kesan seperti ini mendikotomikan antara belajar akademik --campusian— dengan belajar kehidupan. Walaupun disadari bahwa tantangan dan pertarungan kepentingan pasca kepengurusan atau alumni demikian luar biasa bila dibanding masa dimana usia dan jiwa idealis benar-benar menjadi senjata utama (baca : dunia mahasiswa).


Gambaran Pola Pendekatan HMI-MPO kepada Publik (Rakyat)

HMI-MPO dalam pola perkaderannya dikenal dengan pendidikan, aktivitas dan jaringan. Meskipun antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan dalam membentuk karakter ulul albab dalam formulasinya aspek jaringan dan aktivitas dapat dikembangkan dalam membina dan mengakomodir potensi kader yang sekaligus tujuannya lebih jauh adalah upaya mensinergikan antara elemen mahasiswa sebagai agen pemabaharu disatu sisi masyakat sebagai elemen yang didinamisir kearah kehidupan yang lebih baik –masyakakat cita HMI.

Bentuk aktualitas kader dan peran perubahan di masyarakat harus dipersiapkan.—social engineering-- secara seksama. Akan tetapi semua itu harus tercermin dari visi dan misi yang diemban HMI-MPO yang berbeda dalam tiap zaman atau kurung waktu tertentu. Oleh karenanya setinggi apapun akselarasi dalam bidang perkaderan –dalam arti yang seluas-luasnya—harus terderevasikan dari misi dan visi yang sudah barang tentu terekam dalam pilihan tema tiap preode kepengurusan. Dalam pleno kali ini --yang semoga kongres dan kepengurusan berikutnya dapat menindak lanjuti dengan efektif tanpa kepengurusan kita harus menunggu waktu lebih lama untuk memulai—mengambil tema, “Peran profetis kader dalam mempersipkan revolusi sistemik menuju masyarakat berkeadilan dan berkeadaban.” Lebih jauh tema ini tidak menjebak kita --pengurus— kedalam diskursus semata—tetapi telah mampu diterjemahkan dalam rumusan program dan tindakan real ditingkat cabang bahakan komisariat.

Hanya yang perlu difikirkan pula bahwa hal ini jangan sampai meninggalkan tradisi intelektual dan spiritual kader, sehingga tidak ada alasan lagi –nada-nada sumbang— yang mencoba mendistorsi semangat anggota dan kader HMI-MPO dalam melakukan peran sebagai hambah Allah dan Kalifah-Nya. Kesadaran ini lebih dapat teraktualisasikan dalam ideom, seberapa besar kontribusi kader pada himpunan ini untuk mengembang visi dan misi HMI dalam berbagai kreasi, inovasi dan prestasinya sebesar itu pula investasi peningkatan citra diri dan kualitas kekaderannya. Semoga kita dapat berbuat secara maksimal demi amanah mulia ini.

Dipresentasikan pada acara Temu Pengader Nasional (TPN)
Di Wonosobo, pada tanggal 26 Januari 2001.
Kabid Kader PB HMI 1999-2001