Blogger Tricks

MATANYA

Thursday, March 22, 2007

Perkaderan; Sebuah Paradigma.

Posted On 4:09 PM by Pengader Online 0 comments

(sebuah lokalitas yang terabaikan untuk keluar modernitas)
Oleh: Zubaeri

A. perkaderan dan kader
Perkaderan HMI merupakan upaya peningkatan kualitas anggota-anggota dengan memberikan pemahamana ajaran dan nilai kebenaran Islam secara penuh hikmah, kesabaran dan kasih sayang (baca; PP). sedangkan kader adalah anggota HMI yang telah berproses dalam perkaderan organisasi secara bersungguh-sungguh sehingga memiliki kesabaran, kemampuan, dan komitmen untuk memperjuangkan islam dalam rangka menuju masyarakat yang diridhoi Allah SWT (baca; pedoman perkaderan 99). semua ini merupakan makna hakiki yang kita idealkan bersama.

Pertanyaan kemudian adalah apakah HMI mampu membentuk kader melalui proses perkaderan untuk mencapai tujuannya, apabila dikaitkan dengan banyaknya persoalan dalam proses dan dinamika perkaderan secara umum. Ada beberapa problem perkaderan yang dapat kita paparkan dalam realitas dilapangan, meskipun sebenarnya tidak adil kalau argumentasi yang dipakai bersifat empiris dalam mengkritik idealisasi perkaderan yang menjadi tujuan. Kritikan adalah masukan dan penyempurnaan bukan penafian.

Pertama, pedoman perkaderan dimaknai sebagai pedoman yang kadangkala dibutuhkan kader HMI untuk menjelaskan bukan untuk dilaksanakan secara fungsional, Akibatnya pedoman perkaderan tidak dipakai sebagai acuan yang kita akui kebenarannya secara bersama. padahal pedomana perkaderan adalah merupakan proses pemikiran yang panjang yang meliputi idealisme, abtraksi, pembacaan masa depan, dan sehingga memunculkan aturan pokok apa yang dapat kita buat, agar sesuai dengan keinginan bersama. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, pedoman perkaderan ada ketika dibutuhkan untuk menjelaskan seperti layaknya “barang” sekunder kalaupun itu diperlukan.

Kedua, pedoman perkaderan dimaknai sebagai idealitas yang tidak kontekstual dengan zaman, buktinya pedoman perkaderan sangat susah untuk diterapkan dalam keseharian. Walaupun kader seperti ini hanya mengetahui secara teoritis tanpa mengetahui dengan “rasa” bagaimana pedoman dijalankan secara benar. yang terjadi adalah kehampaan pengetahuan atau mengetahui kesia-siaan yang tidak bisa diamalkan.

Ketiga, pedoman perkaderan dimaknai sebagai pedoman yang lepas dari aturan konstitisional. Artinya memahami perkaderan dilepaskan dari aturan konstitusional. Seharusnya pemahaman perkaderan merupakan pemahaman yang integral dengan konstitusi dan tidak terpisah. Mengapa saya katakan begitu, karena pedoman perkaderan yang nota-bene sebagai konstitusi penjelas untuk mengetahui seluk-beluk perkaderan sesuai dengan aturaran konstitusi untuk mencapai tujuan. Dan apabila tidak melakukan dan melaksanakan pedoman perkaderan merupakan tindakan inkonstitusional.

Lalu, bagaimana kita dapat menjalankan proses perkaderan dan menjadi kader yang baik dan kaffah jika aturan (syari’at) yang menjadi acuan tidak dilaksanakan secara penuh. Sehingga jangan disalahkan organisasi HMI kalau nantinya kader mempunyai pemahaman yang parsial seperti krisis eksistensi, krisis intelektual, krisis rasa, krisis kepercayaan dsb.

Maka perlu kiranya kita menyegarkan ulang pemahaman kita terutama tentang perkaderan dan kader. Mengapa hanya dua hal tersebut yang menjadi pokok dalam proses perkaderan. alasan pertama, kader merupakan penentu dalam melanjutkan estafet kepengurusan atau tonggak masa depan. Alasan kedua, perkaderan merupakan tonggak dalam menanamkan kesadaran total tentang kedirian kader.

B. Paradigma kader
Menurut Murtadha muthahhari Paradigma adalah suatu cara pandang dalam melihat dan memaknai dunia (world view). Artinya cara pandang tersebut sangat terkait dengan objek luaran yang dapat diketahui, dapat diurai dengan pemgetahuan, dapat diklasifikasi dan dapat diferifikasi kebenarannya secara utuh. Serta dapat dipahami dan dipahamkan kepada orang lain.
Mengapa paradigma ini penting?, karena dengan paradigma seseorang dalam memahami nilai objek yang ingin dicapai, dimaksud dan dikehendaki. sehingga pada akhirnya akan menjadi landasan dalam membuat tatanan masyarakat yang terbuka.

Kalau kita membahas paradigma kader HMI, dapat kita klasifikasikan menjadi: pertama, paradigma kader yang mencari pengetahuan keorganisasian. Paradigma ini sering kali ada karena HMI dipersepsikan sebagai organisasi yang mempunyai kontribusi besar dalam pemerintahan. padahal HMI sebagai organisasi tidak hanya mengurusi managerial, tempat berkumpul, mengordinir anggota dsb.

Kader berparadigma seperti ini dalam kehidupannya di HMI hanya akan mencari pengalaman organisasi dalam arti yang sempit yakni fungsi-fungsi teknis managerial saja tidak lebih. Implikasinya seorang kader tersebut tidak akan mampu bertahan lama dan susah untuk diajak untuk berjuang apalagi berijtihad. HMI tidak butuh kader yang memanfaatkan HMI.

Kedua, paradigma kader yang terpaksa dalam menjalankan fungsi keorganisasian. Saya katakan terpaksa, karena kader dituntut untuk amanah dan bertanggung jawab karena tidak ada kader lain yang bisa dituntut. Imbasnya, kader seperti ini akan bertahan (eksis) meskipun keberadaannya hanya sebatas untuk melanjutkan estafet organisasi. Jelas, kader tersebut juga tidak rela HMI mati sebelum waktunya.

Kelebihan paradigma kader seperti ini adalah dia mampu bertahan miskipun ditinggalkan oleh teman-temannya baik secara karir, kuliah bahkan perkawinan sekalipun. Tetapi sebaliknya, organisasi akan cenderung stagnan karena ada unsure yang dipaksakan.

Ketiga, paradigma kader yang konstitusional. Artinya paradigma kader yang tunduk dan patuh pada konstitusi organisasi secara formal dalam memaknai realita organisasi. Apapun aturan yang tercantum dan disepakati akan dilaksanakan tanpa harus mempertanyakan kebenarannya sebagai konstitusi, sederhanya “apakah konstitusi itu benar secara konstituisional” tentu kita kaitakan dengan azas yang juga merupakan bagian tertinggi dalam konstitusi yakni Islam.

Keempat, paradigma kader yang memakai islam yang menjadi dasar utama dalam hidup dan berkehidupan, sedangkan HMI adalah organisasi yang melakukan penafsiran terhadap Islam berupa perkaderan dan perjuangan dalam melihat kehidupan masyarakat yang multi komplek, baik seni, budaya, ekonomi, politik pendidikan dsb. Artinya HMI buikan Islam tetapi HMI adalah bagian dari islam, karena HMI mengajarkan ke-islaman.

Dari sekian paradigma diatas, kader HMI harus mengikuti paradigma yang mana? Atau dalam semua paradigma HMI tersebut menjadi acuan dalam menjalankan fungsi sebagai individu, inteletual, organisasi dan Islam. Mari kita renungkan bersama untuk ijtihad kemasa depan Kader dan HMI !!!.

C. Makna perkaderan
Makna perkaderan dalam HMI secara umum dibagi dua antara lain: pertama, perkaderan dalam arti sesungguhnya. Sesungguhnya dalam artian sesuai dengan pedoman perkaderan yakni upaya untuk meningkatkan kualitas anggota HMI dalam mengetahui nilai, pengembangkan nilai dan mengamalkan nilai Islam dalam kehidupan dimasyarakat.

Oleh karena itu, perkaderan di HMI adalah upaya menyadarkan kader atau anggotanya untuk menjadi diri sendiri (capacity Building) yang memadahi sebagai bekal hidup dan fungsi kekholifahan dimuka bumi yaitu sebagai penjagaan keseimbangan antara mikrikosmis dengan makrokosmis hingga terjadinya dinamisasi kehidupan saling membutuhkan tetapi tidak saling menguasai.

Kedua, perkaderan dalam arti pemahaman. Pemahaman disini kita artikan sebagai perkaderan yang konvensional. Salah satu buktinya adalah, (1) mencari anggota sebanyak-banyaknya.(2) melakukan mobilisasi anggota tanpa kesadaran yang konprehensip.(3) melakukan kaderisasi atau proses perkaderan dengan sistem dokrinan.(4) anggota atau kader harus ada jika dibutuhkan oleh pengurus.

Lalu mengapa proses perkaderan akhir-akhir ini memakai makna kedua yakni lebih mementingkan estafet oraganisasi HMI ketimbang subtansi yang diinginkan oleh tujuan HMI ?. Maka tidak salah jika banyak orang atau alumni akan memprediksikan HMI kedepan akan hidup tertatih-tatih dan secara berlahan-lahan akan mati. Astaqfirullah!.

D. fungsi perkaderan
Fungsi perkaderan adalah kegunaan perkaderan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dalam fungsi ini dapat kita bagi menjadi dua fungsi yakni: pertama, fungsi guna. Dan kedua, fungsi Hakiki. Fungsi guna perkaderan HMI adalah melanjutkan perjuangan HMI secara terus menerus dalam melakukan perkaderan dan berguna untuk menjadi martil-martil pengemban amanah, fingsi guna ini banyak bermotif pada materi atau orang yang menjadi simbol dalam perjuangan. fungsi guna ini tidak akan berjalan jika secara orang atau kader tidak mempunyai kesadaran konseptual, kesadaran managerial, usaha yang independen dan kesdaran akan tujuan yang dicita-citakan.

Kedua, fungsi perkaderan hakiki adalah membentuk insan cita HMI yang selalu beribadah kepada Allah SWT dan menjadi kholifah dalam membentuk masyarakat ideal yakni Baldatun toibatun warobbulqhofur. Adapun fungsi insan cita HMI adalah Insan ulil albab yang mempunyai klasifikasi seperti dalam al-qur’an yakni hanya takut kepada Allah, tekun beribadah, memiliki ilmu dan hikmah, kritis dan teguh pendirin, progres dalam berdakwah dsb (baca; PP).maka integralitas pemahaman itulah akan mnejadi media dalam mencapai fungsi hakiki kedepan.

E. Mengapa harus perkaderan
Ada dua alasan mengapa HMI memakai perkaderan sebagai identitas bukan yang lain. Pertama, karena perkaderan melakukan pendidikan kepada subjek secara otonam, mulai dari proses pemahaman cara pandang, konsepsi yang harus digunakan, sikap yang harus dilaksanakan dan keikhlasan dalam beramal.

keihklasan disini kita diartikan sebagai manisfestasi kebutuhan yang harus ada dan dikembangkan dalam realitas sosial, yang mempunyai implikasi langsung maupun tidak sedangkan makna langsung disini dimaknai sebagai tidak ada garis pembeda antara diri dengan “the other”. sehingga tercipta saya dan kamu, kami dan mereka, aku dan dia adalah satu. Proses inilah yang menjadi landasan dalam proses dantujuan HMI.

Kedua, perkaderan perpegang teguh pada ruh keyakinan yang dibangun dengan bagunanan idealisme dan dipagari dengan abtraksi lingkungan (realitas) dan perenungan yang coba ditanamkan dalam proses perkaderan.

Maka tidak perlu heran jika hasil dari proses perkaderan berbeda-beda tetapi tetap dalam kerangka dan batas-batas Islam secara umum. Dan sungguh sangat bodoh jika keberbedaan dalam diri kader tidak mencerminkan akan keyakinan dan idealisme yang sama-sama diberikan oleh tuhan.

F. Bagaimana perkaderan menyongsong masa depan
Perkaderan ini akan terwujud, jika kita memakai logika sistematika yakni keyakinan sebagai landasan, keilmuan sebagai kerangka pemahaman, idependensi sebagai sikap yang tegas dan mandiri dan iman sebagai laku untuk merasakan kemanisan dan kepahitan yang nantinya menjadi keistiqomahan.

Karena Keistiqomahan atau konsistensi akan menuntut kesabaran, ketaqwaan, ketaatan dan penderitaan sebagai buju-baju keseharian diHMI mendatang. Agar tetap eksis sebagai organisasi perkaderan.

Adapun tawaran perkaderan dalam menyongsong kehidupan manusia mendatang dalam konteks indonesia harus meliputi beberapa hal: pertama, konsep perkaderan yang menitik beratkan pada proses menunjukkan eksistensi manusia, yang berkaitan dengan dari mana dan mau kemana (awal-akhir). Kedua, mempunyai kerangka berpikir yang tidak linier. Artinya kerangka pikir yang selalu kreatif dalam perjalanan proses perkaderan. Ketiga, memegang nilai humanistik dan transendetalitis dalam menjalankan proses perkaderan. keempat, mengembangakan sumberdaya manusia terutama yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan lokalitas. Kelima, kesadaran untuk selalu menjaga nilai yang secara subtansial telah menunjukkan nilai kemanusian dalam masyarakat lokal.(baca; makalah lukman hakim Hasan)

G. Hubungan Hakikat Pengkaderan dengan kesadaran lokalitas
Hakikat Pengkaderan manusia sebenarnya ada dua seperti yang dikemukakan oleh A.N.Whitehead dalam magnum opusnya yang berjudul Proses and Reality, yakni kesadaran Proses dan Reality. Mengatakan kesadaran prosesnya (awal-akhir) dimana dalam pepatah jawa disebut dengan “Ajaran pamoring kawulo gusti”. Sementara kesadaran realitas adalah pertemuan antara lahir dan batin, dalam ajaran jawa disebut “sangkan paraning dumadi” (baca; kyai sapu-jagad….,Prof.dr. Damardjati supajar).

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pertemuan kesadaran proses dengan kesadaran realitas merupakan hakikat perkaderan manusia yang bersifat lokalistik-hakiki (lokalitas yang paling hakiki). Sehingga ketika kita membangun paradigma perkaderan haruslah bisa memahani antara proses dan realitas kita secara integratif.

Kesadaran integratis ini adalah pertemuan dua paradigma yang saling mengisi dan tidak terpisahkan, seperti hukum alam secara kosmin yakni pertemuan makrokosmos dengan mikro kosmos, yang kemudian disebut dengan ruang publik. Kalau dijogjakarta disebut dengan alun-alun.

Ruang publik dalam sistem perkaderan adalah suatu ruang dimana semua kader dapat berinteraksi secara bebas. Dalam artian kader mempunyai ruang dan waktu yang sama, baiak secara pemikiran, kedudukan, bahasa, kesadaran, bahkan keinginan yang dilandasi oleh keterbukaan, kejujuran dan keikhlasan. Maka inilah yang penulis sebut dengan partisipatoris, seperti Jurgen Habermas.bebes dari dominasi, bebas dari diskriminasi, bebas berargumentasi dan saling menghargai dan menghormati.

Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa kesadaran lokalitas sangat menentukan diri manusia sebagaimana kedirian manusia yang sejatinya yakni “selalu beribadah kepada Allah” yang kemuidan ditransformasikan kepada realitas objektif. Adapaun realitas objektif diluar kita adalah perwujudan kedirian “ADA” yang hakiki yang bersifat temporal tergantung pada ruang dan waktu. Sedang “ADA” adalah tak terbatas.


Tuesday, March 20, 2007

Khittah Perjuangan

Posted On 4:05 PM by Pengader Online 0 comments

(Catatan Pasca Lokakarya nasional)
Oleh: Zubaeri

A. Khittah sebagai historis dan normatif

Khittah perjungan yang selanjutnya disingkat (Kh-p) adalah produk sejarah yang mengandung dua makna sekaligus. pertama, Kh-p sebagai pergulatan pemikiran dalam merespon realitas situasi dan kondisi baik eksternal maupun internal. Dalam arti bahwa Kh-p harus selalu berubah sesuai dengan zaman. Kedua, kh-p sebagai nilai normatif yang menuntut ke-universalitas dan keabadian. Sehingga kh-p sebagai nilai normatif harus selalu berpegang teguh pada prisip-prisip dasar dalam keteraturan alam.

Berbicara sejarah, berarti berbicara masalah perubahan sosial. sedangkan faktor mendorong perubahan sosial dalam masyarakat antara lain (1) perkembangan pemikiran manusia. Karena dari pemikiran manusia dapat membuat konsep maupun strategi dan taktis sebagai upaya untuk merumuskan tatanan masyarakat yang lebih baik. (2) kultur atau tradisi. Ini sebagai penguatan suprastruktur budaya dalam masyarakat dalam membangun dan menjaga tatanan yang telah dirumuskan. (3) kepercayaan atau keimanan akan tuhan sebagai pengikat antar entitas masyarakat sehingga dapat dijadikan ideology dalam gerakan perubahan social. (4) kepemimpinan sebagai mekanisme mobilisasi dalam perubahan sosial.(5) situs atau simbol sebagai tanda sebuah sejarah yang menjadi momentum sehingga kita dengan mudah mengenali.
Dari sekian faktor diatas, harapannya menjadi satu rangkaian sejarah yang dapat kita jadikan alat bagaimana Kh-p dibutuhkan, tentunya sebagai sejarah yang masih bisa kita rasakan sampai saat ini.

Karena secara normatifitas Kh-p adalah keyakinan kepada sang pencipta dan unsur ciptaan yang tidak terpengaruh oleh sejarah manusia, sehingga sesuatu yang normatif merupakan kebenaran hakiki, dan hanya yang hakiki dapat menjelaskan atas dirinya secara benar.
Oleh karena itu, keyakinan atas yang normatif menuntut untuk taqwa (menjalankan perintah dan menjauhi larangan), taqwa menuntut kesabaran, kesabaran menuntut kepada teguh pendirian,dan teguh pendirian menuntut akan keberanian dalam rangka menantang terhadap yang coba menjauhkan diri kepada sang pencipta, apalagi kepada sesuatu (orang, institusi) yang ingin menghancurkan. Pada akhirnya antara yang historis dan normatif harus kita kemukaan untuk saling mengisi agar aktual dan tetap abadi.

B. Sejarah singkat khittah perjuangan.
Khittah perjuangan lahir sebagai respon terhadap sejarah perubahan realitas di Indonesia, juga sebagai tangungjawab HMI. Dan kh-p pada awalnya merupakan pembeda dengan HMI (HMI-Dipo) sebelumnya sebagai upaya menunjukan keberadaan ummat Islam atau mahasiswa Islam yang masih konsisten berpegang teguh dengan karakteristik dan identitas dengan ideologi yang sedang berkembang dalam masyarakat, yakni ideologi sosialis maupun komunis saat itu. karena ideologi dimasyarakat dianggap tidak sesuai dengan keyakinan atau bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.

Untuk mewujudkan hal itu, maka dibuatlah semacam “pembeda” sebagai identitas yang nantinya dapat menjadi pembanding terhadap ideologi yang sedang berkembang dimasyarakat seperti paham komunisme atau sosialisme, humanisme, pluralisme dll. Adapun karakteristik dan identitas tersebut disebut dengan kepribadian HMI (baca; NDP) yang kukuhkan pada tahun 1963 dikongres VII jakarta.

Selanjutkan, kepribadian HMI ini menjadi dasar-dasar dalam melaksanakan agenda di HMI sebagai gerakan mahasiswa Islam. Dalam perkembangannya krpibadian HMI ini disempurnakan dengan adanya makalah Cak nur atau Nurcholis Madjid yang berjudul Dasar-Dasar Islamisme. Makalah inipun mendapat respon positif oleh pengurus HMI dengan kritikan dan saran untuk diperbaiki, sehingga kemudian dalam kongres selanjutnya diganti menjadi garis-garis pokok perjuangan (GPP). Dan pada kongres IX dimalang diganti lagi dengan nilai dasar perjuanga (NDP).

Pada tahun 1985 keluar UU pemerintah no.08 yang berbunyi “seluruh organisasi masyarakat harus berdasarkan pancasila”. Sehingga HMI pecah menjadi dua kubuh. Pertama, HMI yang tetap dengan Azas Islam yang kemudian dikenal dengan HMI_MPO. Kedua, HMI yang mematuhi pemerintah, meskipun harus merubah azas organisasi yang sering disebut dengan HMI-DIPO, yang secara otomatis pedomanpun harus diganti dari NDP menjadi nilai identitas kader (NIK) meskipun secara subtansial tetap.

HMI-MPO yang kemudian mengukuhkan dirinya sebagai pemenang dalam mempertahankan azas Islam yang kemudian membuat pedoman yang diberi nama “Kkittah Perjuangan” yang bertumpu pada keyakinan kepada Allah SWT sebagai pusat kehidupan sampai saat ini. Walaupun pedoman tersebut pada awalnya hanya merupakan pointer-pointer hasil evaluasi atas NDP yang dipresentasikan dalam simposium mataram dan baru dapat dirumuskan menjadi pedoman utuh pada tahun 1992 disempurnakan tahun 1999 dan disempurnakan kembali 2003 dikongres 24 disemarang dan kemudian dirubah kemabali melalui lokakarya Nosional di Yogyakarta tanggal 10-13 februari 2006 yang akan disempunakan oleh Stering Comite yang diwaliki Saudara Syafinuddin Al-mandari dalam waktu 99 hari.

Dari uraian diatas dapat kita ringkas menurut sejarah perumusannya, bahwa ada beberapa perubahan yang signifikan mulai dari kepribadian sampai khittah perjuangan. pertama, pedoman sebagai kepribadian HMI. Kedua, pedoman sebagai dasar-dasar islamisme. ketiga, pedoman sebagai garis-gari pokok perjuangan. Keempat, pedoman yang menitik beratkan pada nilai dasar perjuangan. Kelima, pedoman kh-p sebagai pengkristalan nilai-nilai islam yang sesungguhnya. Terakhir keenam, pedoman Kh-p sebagai respon terhadap realitas keindonesiaan terutama Neo-liberalisme.

C. Paradigma khittah perjuangan
Paradigma HMI adalah Islam seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar (AD). paradigma ini menjadi cara pandang yang kemudian dirumuskan menjadi pedoman yang disebut dengan khittah perjuangan, dan dalam perkembangannya Kh-p disebut sebagai tafsir HMI terhadap Islam, maka kh-p dapat kita simpulkan sebagai cara pandang organisasi HMI untuk memahami islam.

ketika Islam bertumpu pada keyakinan kepada Tuhan. Maka keyakinan akan ADA-nya Allah SWT berfungsi sebagai nilai untuk melihat realitas objektif diri manusia maupun alam semesta. Karena realitas objektif segala sesuatu adalah manifestasi dari tuhan, sehingga tidak ada argumentasi yang dapat menggugurkan akan adanya “ADA” itu sendiri dan tidak ada realitas diluar yang bersifat objektif.

Adapun subjetif itu “ADA” disebabkan keberadaan objektifitas tuhan, karena Tuhan adalah objektif, mutlak dan sempurna dengan seluruh hukum_Nya. maka jelas bahwa kedudukan dan arti penting khittah perjuangan sebagai paradigma suatu organisasi adalah suatu niscaya.
Sehingga kedudukan kh-p di HMI harus dapat menjiwai dalam satuan tubuh yang utuh dan saling melengkapi, baik secar teoris maupun dalam mengimplementasiannya. Pertama, menjadikan kh-p sebagai keyakinan pembeda antara yang haq dan batil, hal ini sebagai kepala atau otak yang mengatur dalam mengoperasikan dalam kehidupan nantinya. Kedua, kh-p didudukan sebagai tubuh dalam organisasi HMI yang secara yuridis ada dalam anggaran dasar (AD). Ketiga, sebagai kaki-kaki yang dapat diopersionalkan secara fitri oleh anggotanya sehingga dapat membawa perubahan yang mendasar dengan segala struktur atau unsurnya. Keempat, sebagai nilai perjuangan bersama dalam mencapai tujuan dan menjadi naungan atau dapat menaungi dari seluruh organ tubuh diawal. kelima, hukum kepastian (eskatologis) yang harus Ada sebagai konsekuensi ketika seluruh rangkaian diatas tidak berfungsi dengan baik sesuai dengan hukumnya. maka apa yang terjadi kemudian ?.

Meskipun begitu, kh-p menjadi persoalan ketika kh-p dipersepsikan diluar keinginan kh-p atau perumus dalam membuat kh-p sendiri. yang terjadi kemudian adalah pemaknaan yang tidak sesuai baik secara subtansial maupun teks, walaupun pemaknaan plural merupakan bukti bahwa khittah perjuangan tersebut tetap hidup kata sebagian kader.

Harapannya, kh-p tidak hanya dimaknai sebagai kepala, tubuh, dan kaki secara terpisah. meskipun pemisahan tetap mempunyai makna tetapi pemisahan tidak bisa diartikan keseluruhan, karena keseluruhan adalah satu rangkaian yang terpisah dan tidak dapat dipisahkan. Satu untuk semua dan semua untuk satu. Seperti ada pepatah arab; “ satu melahirkan banyak, dan banyak membutuhkan yang satu”.

D. Tafsir khittah perjuangan
Apakah benar Khittah perjuang sebagai tafsir Islam ?, pertanyaan inilah yang harus kita ajukan dalam melakukan pengkritisan ataupun klaim bahwa kh-p sebagai tafsir. karena banyak prasyarat yang harus kita penuhi dalam menafsirkan sesuatu apalagi Islam, prasyarat itu adalah (1) mempunyai pengetahuan keislaman yang utuh dimana islam itu diturunkan, bagaimana Islam dan bagaimana perubahan makna Islam mulai awal sampai saat ini. Sampai hal-hal mendasar yang menyangkut persoalan dasar dalam Islam, seperti mengapa harus ada rukun islam, ada rukun iman, ada yang ubudiyah dan mualamat, ada yang bersifat historis dan normatif. (2) memiliki kemampuan akal terutama berkaiatan dengan hukum-hukum atau kaidah akliyah yang ditetapkan bersama.(3) mengetahui tema-tema pokok yang menjadi inti ajaran dan (4) mempunyai nilai yang menjadi landasan yakni nilai ketuhanan. (5) ada sinergisitas antara teks dan kontekstual secara pemahaman antara dahulu, sekarang dan masa depan sebagai proses kesejarahan yang berkelanjutan.

Sedangkan tafsir HMI terhadap islam terkesan hanya satu sisi yakni mengandung nilai filosofis yang diperdebatkan tanpa tahu historis dan pembentukan nilai dalam kesejarahan. Sehingga dalam proses perumusan khittah perjuangan dalam Lokakarya Nasional kemarin diakhir banyak sekali menjunjung kepentingan masing-masing cabang tanpa ada aturan, baik secara teks seperti al-qur’an dan sunnah maupun secara kerangka aturan berpikir secara pasti.
Sehingga tafsir HMI terhadap Islam banyak tergantung pada kesan kader, pengalaman dan pemikiran latar belakang pemikiran kader, persepsi kader terhadap Islam dan terakhir sejauhmana kader memaknai Islam sebagai azas HMI.

Oleh sebab itu, kh-p adalah tafsir yang merepresentasikan penafsiran atas kehendak kepentingan masing-masing cabang tanpa ada uji kebenaran hakiki yang ada dalam Islam. idealnya, suatu penafsiran seharuslah mengadung tiga hal secara umum yang saling berhubungan. Pertama, mempunyai dasar filosofi yang bertumpu pada nalar berpikir untuk selalu berproses “ untuk menjadi” bijaksana. yang banyak diperankan oleh nabi. Kedua, penafsiran harus bertumpu Al-qur’an sebagai pedoman ummat islam, dan HMI bagian dari organisasi yang menafsirkan keber-islaman. Ketiga, penafsiran harus terkaitan dengan konteks kesejarahan baik sosial, ekonomi, politik, budaya, seni dll. Sehingga ada sinergisitas dalam mengimplementasikan nilai yang universal al-qur’an dengan nilai realitas dilapangan, Antara nilai teoritis dan nilai praktis mempunyai keterkaiatan yang integral.

E. Menimbang khittah perjuangan dengan Neo-liberalisme
Sebenarnya khittah perjuangan dan Neo-liberalisme tidak dapat dipertentangkan. karena kh-p merupakan suatu pedoman teoritis HMI dalam membentuk karakter dan mental kader HMI untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, seperti yang dicita-citakan dalam Islam (HMI) yakni ulil Albab. Sedangkan Neo-liberalisme adalah salah satu paham yang dapat merusak kedirian manusia yang sesungguhnya, terutama dengan faham Materialisme, Komsumtifisme dan Liberalisme.

Oleh karena itu, kh-p adalah sebuah kerangka teoritis sebagai batasan-batsan terhadap paham-paham yang menjauhkan diri manusia secara fitrah yang diberikan Tuhan. Baik secara materi yang nota-bene menjadi suatu berhala tuhan baru dalam era modernitas ini yang pertama. Kedua, menjadikan rasionalitas dalam menilai tingkat kebenaran dan meniadakan hati dan indra sebagai kebenaran lain. Ketiga, mempunyai sifat-sifat yang menjauhkan pada penyucian fitrah manusia, seperti dominasi, eksploitasi, iri, dengki, rakus dll.

Sedangkan Neo-liberalisme mempunyai agenda-agenda yang mengarah pada nilai materialistik, positifistik dan hegemotik. Lalu pola-pola seperti apa yang sering dipakai dalam melaksanakan agenda neoliberal tersebut?. Pertama, menempatkan nilai materi terutama modal sebagai penentu. Sehingga pengaturan kemanusiaan banyak dikendalikan lewat keuangan atau ekonomi. Kedua, menciptakan ukuran-ukuran baku dalam kehidupan manusia, baik image maupun citra. Ini dibuat sebagai pengikat dan pengontral kehidupan manusia. Ketiga, menggunakan media teknologi dan komunikasi sebagai kepanjangan tangan dalam mempengaruhi dan menggulirkan isu sehingga menjadi budaya yang terus berkembang dalam masyarakat.

F. Strategi paradigmatis khittah Perjuangan dalam melawan Neo-liberalisme
Pada dasarnya nilai ke-islaman adalah nilai tetap dan tidak berubah (baca; Ahmad wahib) dan yang berubah adalah perubahan nilai yang dipengaruhi oleh kondisi dan situasi zaman dimana orang hidup dan berkehidupan yang menjadi menentu pemaknaan. Oleh karena itu secara implisit dapat dikatakan bahwa nilai ke-islaman ditentukan oleh tingkat kesadaran akan ilmu pengetahuan dalam menangkap realitas.

Dalam menangkap realitas, Neo-liberalisme menggunakan paradigma modern yakni; rasionalisme sebagai paradigma epistimologi. humanisme sebagai paradigama aksiologis, dan materialisme sebgai paradigma ontologis dalam memaknai realitas. mengapa kita menolak secara tegas terhadap proses kapitalisme atau neo-liberalisme karena kapitalisme malakukan ketidak-terbukaan antara janji-janji yang diberiakan dengan kenyataan kehidupan sehari-hari, malah sebaliknya yang terjadi adalah manusia dijadikan sebagai fungsi ekonomi semata-mata dan ditindas oleh totalitarianisme dijalan kapitalisme monopolis.(baca; Dilema manusia modern.hal 61-62)

Sehingga khittah perjuangan harus menggunakan tradisi pemikiran islam dalam mengkanter paradigama neo-liberlisme diatas dengan; pertama, menggunakan tradisi tasawuf seperti jism, nafs, ‘aql, qolb, dan ruh. Kedua, dalam tradisi figih, tercantum dalam lima kategori yang sesuai dengan hirartki sumber hukum, ‘urf, ijmak, ijtihad, sunnah, dan al-qur’an. ketiga, tradisi teologis ilmu kalam yakni kholqillah, sunnatullah, amrullah,shifatullah dan dzatullah. Keempat, tradisi filsafat atau hikmah dalam islam yaitu; kausa prima, kausa final, kausa formal, kausa efisiensi dan kausa materi. Maka kemmpat intisari islam yang juga terdapat dalam khittah–p dapat dijadikan sebagai paradigma-paradigma epistimologi, aksiologi dan ontologi.(baca; integralisme agama dan ilmu hal101).

Dari paradigma diatas harapannya dapat mengurai dan memunculkan nilai keislaman secara komprehensif sebagai upaya menyangkal nilai-nilai Neo-liberalisme yang tengah menghegemoni baik secara budaya maupun pemikiran.

G. Penutup
Musuh kita sebenarnya adalah diri. Diri manusia banyak dipengaruhi oleh akal manusia. Akal manusia banyak dipengaruhi oleh cara pandang, cara pandang dipengaruhi oleh persepsi dan persepsi banyak dipengaruhi hal-hal yang bersifat materi dari pada yang hakiki. Oleh karena itu mari kita kembali kehakiki. Karena hakiki adalah tetap dan abadi. Maka jangan mau dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat sesaat, temporal, apalagi materi.



Tuesday, March 6, 2007

Menelusuri Jejak Langkah Gerakan Islam Indonesia

Posted On 9:44 PM by Pengader Online 0 comments

Oleh : Maksun

Pendahuluan
Di jagad raya ini, tidak pernah ada ide yang benar-benar murni baru dalam segala aspeknya. Sebuah ide selalu merupakan hasil interaksi dengan berbagai macam ide lain, rekayasa sosio-kultural dan peristiwa-peristiwa sejarah yang mengiringinya. Tidak ada ide yang lahir dari sebuah vacuum. Hal yang sama, jika kita ingin mengurai gerakan Islam di Indonesia. Ia selalu bermatarantai dengan ide-ide sebelumya, baik ide yang berkembang di belahan dunia muslim maupun ide yang muncul secara lokalistik.

Untuk menelaah munculnya gerakan Islam, baik di dunia Islam maupun di Indonesia, kita mesti melihat faktor eksternal dan internal umat Islam.Sebab, dengan menelusuri kedua faktor tersebut, kita akan lebih memahami sebab yang mendasari mengapa umat Islam melakukan gerakan atau perjuangan. Secara eksternal, perkembangan awal munculnya gerakan Islam dimulai sejak abad ke 18 sampai abad ke 20. Pada masa-masa tersebut umat Islam berupaya melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme Eropa dan keinginan untuk membentuk nation state. (John L Esposito, 1999, hlm. 59). Bahkan dalam pandangan Esposito, kolonialisme-imperialisme eropa serta perlawanan untuk merebut kemerdekaan merupakan dua tema utama kalangan Islam sampai abad 20. Secara internal, adanya hambatan dari umat Islam yang mengalami stagnasi pemikiran dan keterbelakangan wawasan, bahkan alergi terhadap apa yang dihasilkan dari modernitas (Charles Khuzman, 2001,hlm xvii). Kondisi ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya bisa jadi karena lamanya penjajahan sehingga menghancurkan infra struktur yang telah ada didunia Islam dan adanya seruan penutupan ijtihad.

Kolonialisme Eropa atas dunia Islam selama beberapa abad tersebut, tentu saja meninggalkan jejak langkah –khususnya dalam ide dan budaya baru yang dibawa kaum kolonialis- .proses interaksi Islam dan kolonialis inilah yang dikemudian hari menimbulkan ketegangan budaya. Dalam proses selanjutnya mempengaruhi ekspresi umat Islam dalam menyikapi kebudayaan yang dibawa oleh barat.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia ketika Belanda menjejakkan kakinya di Indonesia. Proses transformasi sosial-budaya yang dilakukan Belanda berkembang sedemikian pesat, khususnya masalah pendidikan. Dalam hal ini menimbulkan ketegangan bagi kalangan umat Islam. Ada yang tetap mempertahankan system lama atau tradisional. Dan ada yang menginginkan pembaharuan system pendidikan. Yang menarik dari ketegangan tersebut adalah adanya landasan teologis bagi yang menolak pembaharuan system pendidikan. Yaitu siapa yang menyerupai kaum, maka ia bagian darinya. Sedang bagi yang menginginkan pembaharuan lebih menggunakan alas an rasional. Bahwa semua itu merupakan konsekuensi logis dari modernisasi, dimana umat Islam harus mampu menghadapi zaman yang terus berubah. Pandangan demikian yang kemudian hari menghasilkan dua gerakan yang secara sosiologis di sebut sebagai gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam modernis. Tentunya untuk dua kategori ini dikemudian mengalami perkembangan, bahkan berbalik. Yang dulu modernis sekarang menjadi tradisionalis, dan sebaliknya.

Kondisi eksternal dan internal umat Islam di atas menimbulkan kegundahan bagi para pendekar Islam untuk segera keluar dari kemelut yang mendera kondisi umat Islam. Respon penyelesaiaan umat Islam atas kondisi di atas pun memunculkan beragam tipologi gerakan. Baik dalam ranah politik, sosial, budaya maupun lainnya.

Respon Umat Islam
Fazlur Rahman intelektual muslim Pakistan sebagaimana yang ditulis Greg Barton (1999,hlm 9) menjelaskan, bahwa respon muslim atas kondisi umat Islam baik secara internal maupun eksternal dibagi dalam empat fase penting. Pertama, gerakan revivalis di akhir abad 18 yang secara epistemologis menekankan Islam di atas semuanya. Gerakan ini dipelopori oleh wahabiyah di Saudi

Kedua, gerakan modernis yang hadir pada abad 19 sampai awal abad 20, yang secara epistemologis berusaha menjelaskan bahwa Islam akan jaya apabila ditafsirkan dengan benar sesuai dengan peradaban modern. Gerakan ini dipelopori oleh Jamaludin Al-Afghani, Sir Sayyid Ahmad Khan, M. Iqbal, M. Abduh.

Ketiga, gerakan Neo-Revivalis yang muncul pada abad 20 yang pada tingkatan epistemologis berusaha melakukan purifikasi keagamaan. Gerakan ini memiliki misi untuk membersihkan Islam baik dari pengaruh Barat yang dianggap mengotori orisinalitas Islam, dan membersihlan Islam dari pengaruh bid’ah dan khurofat. Gerakan ini dipelopori oleh Al-Maududi dengan Jama’at Islam di Pakistan dan Hasan Al-bana lewat Ihwanul Muslimin dio Mesir. Dan yang terakhir adalah gerakan Neo modernisme Islam yang di indonesia banyak dielaborasi oleh Nurcholis Majid dkk lewat paramadina.

Keempat respon di atas dapat kita jadikan acuan untuk melihat tipologi gerakan Islam yang berkembang di Indonesia baik yang telah establis maupun yang baru -misal, Muhamadiyah dan HTI-.Pengecualian bagi gerakan Neo-modernisme Islam yang memang memiliki kekhasan tersendiri, karena memang tidak menyebut sebagai organisasi kemasyarakatan sebagaimana NU-Muhamadiyah, tetapi titik tekannya pada gerakan pemikiran Islam. Sekalipun demikian NU-Muhamadiyah juga bisa disebut gerakan pemikiran Islam, tetapi hanya sebagai sub dari gerakan NU-Muhamadiyah yang lebih dominan. Gerakan pemikiran Islam dalam NU-Muhamadiyah biasanya berada dalam lembaga tersendiri yang di dalamnya adalah anak-anak yang memiliki background NU-Muhamadiyah. Misal, LKiS yang diisi oleh orang-orang muda NU, sekalipun tidak menyebut NU, begitu juga dengan Muhamadiyah, ada PSP atau JIMM.

Yang menarik dari munculnya gerakan Islam yang menyebut Neo-Modernisme sebagian besar berasal dari organisasi HMI, di mana HMI hadir bukan mewakili tradisi besar yang telah ada di dunia. Atau dengan bahasa lain seperti yang sering dikatakan Ashad Kusuma Jaya , bahwa HMI adalah tradisi kecil yang “akan” mengglobal. Sementara organisasi seperti Muhamdiyah, HTI, Ahmadiyah berasal dari tradisi besar lalu “melokal”.

Secara sosiologis munculnya Neo-modernisme juga sebagai upaya menjawab tantangan zaman yang sedang terjadi di belahan dunia termasuk Indonesia. Termasuk kritik atas gerakan modernisme Islam –Masyumi-yang ditampilkan geberasi tua (Nasir dkk) yang masih menampilkan watak ideologis dalam perjuangan keindonesiaan.

Menemukan Asal Usul
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi asal usul gerakan Islam Indonesia. Apakah ada relasi atau interaksi gerakan Islam di Indonesia, khususnya para pendekarnya (pendirinya) dengan gerakan Islam yang dilakukan oleh para pendekar di belahan dunia muslim lainnya. Ini juga untuk membuktikan bahwa sebuah ide atau gagasan di belahan dunia manapaun tidak berada dalam vacuum.

Untuk menyingkat tulisan ini saya akan membahas dua gerakan Islam Indonesia. Dua gerakan itu adalah HTI dan Muhamadiyah. Tentunya tulisan ini perlu diperbaiki, karena apa yang tertulis sekedar apa yang saya dengar dari orang-orang HTI, atau Muhamadiyah baik melalui dialog maupun melalui tulisan-tulisannya.

Pertama HTI. Gerakan ini fokusnya adalah mengembalikan kejayaan Islam yang telah hilang dengan mengampanyekan berdirinya kembali Khilafah Islamiyah. Secara teologis gerakan ini menganggap bahwa Islam adalah segalanya. Islam adalah -ya’lu wala yu’la alaihi- Islam adalah tinggi dan tidak ada yang meninggihinya. Untuk itu Islam harus menjadi ideologi atau pandangan dunia umat Islam. Dengan keyakinan tersebut, menurut mereka segala persoalan yang terjadi di belahan dunia termasuk di Indonesia adalah karena belum dijadikan Islam sebagai pandangan dunia dengan Khilafah Islamiyah sebagai formulasi politiknya.

Dalam konteks Negara, HTI tidak mengakui adanya konsep nation state, Konsep Negara bangsa dalam pandangan HTI merupakan produk dari barat modern. Bentuk ini dianggap tidak Islami, karena membatasi teritorial negara satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang menimbulkan konflik perbatasan sebagaimana yang terjadi di Indonesia dengan Malaysia, yaitu kasus Ambalat. Dalam pandangan HTI, dunia muslim termasuk indonesia banyak yang membebek dengan sistem yang di buat oleh barat, yaitu demokrasi. Baginya demokrasi bukanlah sistem Islam, karena otoritas mutlak dipegang oleh rakyat,. sedang dalam Islam otoritas mutlak hanya pada Allah swt. Menurut HTI sebagaimana yang di tulis di buletin Al Islam, bahwa semua persoalan Negara seklarang ini adalah karena tidak menganut sistem Islam, yaitu Khilafah Islamiyah. Dalam sistem ini tidak ada batas teritotial negara. Semuanya adalah satu di bawah satu kepemimpinan umat.

Gambaran yang diperjuangkan oleh HTI di atas, jika kita runtut kebelakang dari sikap muslim di dunia Islam lain, sebenarnya bukanlah gagasan yang baru, sekalipun dalam bentuk yang berbeda. Gagasan tersebut sama dengan gagasan Neo-revivalis yang dipelopori Al-Maududi di Pakistan dan Hasan Albana di Mesir lewat Ihwanul muslimin.

Ada kesamaan gagasan antara ide gerakan Neo-revivalis dengan HTI khususnya dalam memandang Islam. Termasuk bagaimana HTI berusaha membersihkan segala sesuatu yang bukan dari unsur Islam. Bagi mereka Islam adalah segalanya. Dengan Islam segala persolan kebangsaan dan keumatan akan selesai. Keyakinan ini didasari pada kerangka teologis bahwa Islam adalah dari Allah pemilik semesta, sudah barang tentu Islam melampaui segala isme-isme lain yang di buat manusia. Bedanya HTI dan Ihwanul Muslimin atau Jama’at Islami adalah dalam formulasi ketatanegaraan. HTI dengan Khilafah Islamiyah yang sifatnya lintas teritorial, dengan satu imam, sementara IM dan JI tetap dalam kerangka nation state hanya Islam menjadi dasar negara.

Kedua adalah Muhamadiyah. Muhamadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad dahlan pada tahun 1912 ini merupakan respon atas kondisi umat Islam yang berada dalam kebodohan dan kemiskinan. Inti dari gerakan muhammdiyah adalah gerakan purifikasi (pemurnian) dengan jargon kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Sebagaimana awal pendiriannya, yaitu respon atas kemiskinan dan kebodohan, maka fokus gerakan muhammadiyah lebih banyak membuat amal usaha. Misalnya, panti asuhan, pendidikan, kesehatan. Sementara dalam bidang pemikiran yang menyebut sebagai gerakan tajdid sampai saat ini tidak memunculkan gagasan segar dalam pemikiran keIslaman, selain hanya mengulang apa yang telah ada. Misalnya dalam hal Metodologi, khususnya dalam kajian keislaman selama ini Muhamadiyah tidak memunculkan metodologi yang khas, selain hanya repoduksi apa yang telah digagas oleh pemikir sebelumnya, seperti mengelaborasi epistemologinya Al-Jabiri

Sebagai gerakan modern, muhamadiyah ingin membawa Islam agar berjalan selaras dengan pemikiran rasional dan mampu menerima dampak-dampak positif dari peradaban modern. Untuk mewujudkan gerakan tersebut, muhamadiyah menolak segala tradisi yang dianggap bertentangan dan menghambat kemajuan Islam. untuk itu Muhamadiyah menolak segala yang berbau takhayul, bid’ah dan khurofat (TBC).

Dalam konteks politik, secara organisatoris Muhamadiyah tidak melibatkan diri dalam politik praktis, walaupun dalam sejarahnya Muhamadiyah pernah berfusi kedalam masyumi dan akhirnya keluar. Sekalipun demikian bagi individu atau kadernya yang memiliki libido kepolitik praktis, Muhamadiyah tidak melarang, yang penting tidak menyalai nilai dasar yang ada di Muhamadiyah. Ini dibuktikan dengan pribadi kreatif mantan ketua Muhamadiyah –Amin rais- yang mendirikan PAN.

Sebagai gerakan modernis Islam, Muhamadiyah tetap konsisten untuk mempertahankan gagasan nation state sebagai gagasan yang final. Gagasan ini sebagai ciri khas ide substansial di dalam pembicaraan modernisme Islam di Indonesia. Bahkan lewat para punggawa Muhamadiyah melalui mantan ketua umumnya, Syafi’i Ma’arif bahwa dalam Islam tidak ada Negara Islam, ia juga mengembangkan gagasan inklusifitas, pluralisme dan demokratisasi.

Gagasan yang dikemukakan Syafi’I ini memang bukan pendapat mainstream Muhamadiyah. Hal ini terbukti dengan penolakan terhadap orang-orang yang selama ini mengusung gagasan liberalisme Islam. seperti Syafi’i Ma’arif, Amin Abdullah, Munir Mulkhan, Dawam Raharjo, yang dalam pandangan tokoh tua Muhamadiyah telah menyalahi Manhaj Muhamadiyah, khususnya dalam bidang Aqidah atau teologi. Tetapi bagi anak-anak muda Muhamadiyah, gagasan mereka menjadi trend yang diyakini sebagai upaya pembaharuan yang selama ini mengalami stagnasi. Di samping itu, pandangan mereka sebagai upaya untuk meminimalisir image bahwa Islam adalah keras, menakutkan sebagaimana yang diperlihatkan sebagian orang Muhamadiyah.

Sampai di sini penggambaran tentang Muhamadiyah. Tentu kita sudah bisa merunut asal usul dari gerakan ini dengan gerakan Islam yang sudah ada sebelumnya. Harus diakui, pribadi kreatifnya yaitu Ahmad Dahlan adalah orang yang pernah bermukim di Makkah, sehingga gagasan purifikasinya jelas banyak bersentuhan dengan gerakan Wahabiyah di Saudi. Ini nampak dalam gerakannnya untuk menghancurkan yang namanya takhayul, bid’ah dan churofat (TBC). Dalam hal ini Muhamadiyah ada kemiripan dengan gerakan revivalis yang diusung Abdullah bin Wahab dan gerakan neo revivalis yang diusung Maududi dan Hasan Albana. Hanya bedanya dengan kedua gerakan tersebut, Muhamadiyah tidak phobi dengan barat atau peradaban modern.

Di samping itu, ada kemiripan sikap dalam merespon kehidupan modern antara Muhamadiyah dengan peletak gerakan modern Islam seperti Muhamad Abduh dan kawan-kawannya. Dalam hal pendidikan misalnya, Muhamadiyah melihat ini sebagai hal yang urgen untuk menghadapi peradaban barat modern. Dengan pendidikan modern tersebut Muhamadiyah berharap agat umat Islam dan Islam tidak ketinggalan dengan peradaban modern. Ini dibuktikan oleh Ahmad Dahlan dengan membuat sekolah Mu’alimin-Mu’alimat sebagai sekolah Muhamadiyah pertama di yogyakarta. Hal yang sama juga dilakukan M. Abduh pertama kali dalam gerakannya adalah menitikberatkan pada masalah pendidikan, selain juga budaya, pembaharuan intelektual dan penerbitan majalah almanar.

Kesamaan itu tentunya bukan karena kebetulan. Tetapi ada keterkaitan ide secara terus-menerus dengan para modernis Islam tersebut, khususnya pribadi kreatifnya Ahmad Dahlan. Interaksi yang dilakukan Ahmad Dahlan dengan para modernis Islam, khususnya dengan M. Abduh lewat majalah Al-Manar menginspirasi untuk membuat gerakan modernis Islam Indonesia dengan nama Muhamadiyah. Wallahu ‘alam bisshowab

Pengurus Kornas KP HMI Periode 2005-2007


Monday, March 5, 2007

INTEKEKTUAL PROFETIK; DARI PARADIGMA KE AKSI

Posted On 9:42 PM by Pengader Online 0 comments

(upaya peneguhan kembali misi penciptaan manusia)
Oleh : Khilmi Zuhroni ZA

Manusia adalah sebaik-baik ciptaan (QS:95:4). Sebab itu maka sangat tepat jika sebagai makhluk yang diciptakan dengan penuh kesempurnaan ini, Tuhan lalu menjatuhkan titah-Nya pada manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi (QS:2:30) Titah yang sungguh teramat mulia ini disamping merupakan pengakuan Tuhan sebagai penciptanya bahwa hanya pada diri manusialah adanya potensi manifestasi pengemban amanah keTuhanan untuk senantiasa menjaga dan memelihara semesta, juga menisbatkan akan dimintainya pertanggungjawaban pada setiap laku dan amalan manusia selama dia menjalankan peran dan fungsinya di muka bumi.

Ali Syari’ati (1933-1977) seorang tokoh intelektual Iran, menjelaskan mengapa Tuhan memilih manusia sebagai makhluk pilihan adalah; Pertama, bahwa pada diri manusia terdapat kemauan bebas yang mampu mendorong manusia untuk melawan maupun menjalankan instingnya—sebuah dorongan yang tidak mungkin dimiliki oleh makhluk ciptaan yang lain. Hanya manusia yang dapat melawan dirinya, menentang hakekatnya, dan memberontak terhadap kebuTuhan fisik dan spiritualnya. Ia bebas memilih untuk bersikap rasional maupun irrasional, baik atau jahat, menjadi malaikan ataukah iblis.

Kehendak bebas sedemikian dapat muncul mendorong manusia tentu saja sebab manusia tercipta dari roh Tuhan yang ditiupkan-Nya pada saat awal penciptaanya. Sehingga adanya sifat yang identik antara roh manusia dan Tuhan adalah adanya kemauan bebas

Prinsip kedua, bahwa secara esensi dan substansinya, penciptaan manusia adalah sama. Sehingga pada aras inilah yang memungkinkan adanya semangat persamaan dan persaudaraan sesama manusia. Dan ketiga, keutamaan manusia adalah terdapat dalam ilmu pengetahuannya, dimana terbukti manusia lebih unggul di atas makhluk-makhluk ciptaa yang lain adalah bahwa hanya manusialah yang sanggup menyebut dan mengetahui nama-nama

Masalah manusia adalah hal yang terpenting dari semua masalah. Terlebih lagi dalam kondisi persoalan kemanusiaan yang kian komplek searah dengan makin berkembangnya daya cipta dan kreatifitas manusia, maka membicarakan kembali manusia, berarti adalah sebuah ijtihad yang sangat urgen untuk menemukan cara pandang baru bagaimana menempatkan manusia dalam tugas dan tanggung jawabnya di tengah berbagai situasi yang kian menyisihkan peran manusia itu sendiri. Indikasi kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh manusia dapat dilihat dari berbagai kreasi-cipta manusia mutakhir dalam aneka pencapaian kebudayaan—ilmu pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, dll—yang demikian cepat sampai pada saatnya nalar pengetahuan yang semula di maksudkan sebagai upaya memenuhi kebutuhan manusia, dalam aplikasinya ternyata membawa implikasi yang demikian besar dengan semakin terpinggirnya nalai-nalai luhur manusia, bahkan dalam kondisi tertentu justeru manusia-lah yang diberbudak oleh hasil ciptaannya sendiri.

Ditengah berbagai persoalan inilah kecenderungan untuk menghindar atau justeru larut (include) dalam gelimang persoalan menjadi pilihan tersendiri dalam tindak laku manusia. Sebagian lari (mengasingkan diri) dari realitas tersebut lantaran menganggap bahwa dengan cara itu mereka akan tetap istiqamah dalam menjaga aturan dan sunnahtullah. Sedang sebagian yang lain pilihan untuk include didalamnya adalah sebuah tanggung jawab yang memang harus dipikul oleh manusia untuk mengembalikan berbagai penyimpangan tersebut dalam aras yang sebenarnya.

Secara garis besar, kedua pilihan tersebut dapat dikelompokkan dalam dua corak kesadaran. Disatu sisi bercorak mistik, yang mendasarkan kesadarannya pada adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Sedangkan disisi lain pengalaman itu bercorak profetik, yakni pengalaman keagamaan yang didasarkan pada kesadaran akan amanah kekhalifahan sebagaimana dalam tradisi risalah kenabian, bahwa setiap manusia memiliki tanggungjawab sosialnya masing-masing.

Jika yang pertama lebih berorientasi pada kepuasan individu, dengan corak keilmuan konseptional, rasionalis, dan abstrak, dari manusia menuju dan berhenti di Tuhan ('ittihad) maka yang kedua lebih berorientasi sosial kemanusiaan, dengan corak keilmuan realistik, empiris dan historis, bermula dari Tuhan ke manusia dan berakhir kembali ke Tuhan (fenomena ini dapat dilihat dalam peristiwa isra' mi'raj, dimana setelah muhammad mencapai sidratul muntaha, dia tidak 'ittihad disana, tapi kembali ke manusia untuk menyampaikan risalah shalat).

Agama bergerak dari individu ke masyarakat Maka seharusnya semakin tinggi pengalaman keagamaan manusia, semakin dia sadar akan peran dan fungsinya, semakin dia dekat dengan masyarakatnya.

Muhammad Iqbal (1877 – 1938) seorang penyair sekaligus filusuf kelahiran Sialkot (Punjab) India, memberikan konsepsi pemahaman yang sangat mendalam terhadap pemikiran keagamaan. Menurutnya manusia adalah mitra Tuhan, karenanya sebagai mitra Tuhan manusia harus senantiasa mengabdikan dirinya kepada perjuangan demi perkembangan individu-individu yang tegar dan pasrah dalam kapasitas mereka sebagai khalifah. Sementara kontemplasi tanpa aksi sebagaimana yang dijalani sebagian besar kelompok mistik adalah kematian.

Untuk sampai pada mitra Tuhan tersebut, manusia harus senantiasa berusaha keras penguasai pribadinya. Yakni dengan tahapan belajar mematuhi dan tunduk pada kodrat manusia sebagai makhluk dan hukum-hukum illahi. Setelah itu tahap yang lebih lanjut dengan belajar disiplin terutama dalam mengendalikan diri dari berbagai kelemahan-kelemahan pribadi melalui ketakutan dan cinta pada Tuhan dan ketakbergantungan pada dunia. Tahap selanjutnya adalah proses pencapaian kesempurnaan spiritual yaitu dengan usaha mendekati Tuhan secara konsisten dengan ketinggian martabat pribadi. Sang pribadi mencari dengan kekuatan dan kemauannya. Sebab Tuhan tidak dapat diperoleh dengan cara meninta-meminta dan memohon semata. Pada saat menusia telah menemukan Tuhan pribadi tidak boleh larut terserap ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada (manunggal), sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya sebanyak munghkin sifat-sifat-Nya. Dengan menyerap Tuhan kedalam dirinya, tumbuhlan ego. Ego menjadi super ego, maka pribadi telah naik ke tingkatan wakil Tuhan. Dengan demikian dia dianggap telah memenuhi syarat menjalankan tugas kekhalifahan, memancarkan sifat-sifat illahiah dalam mikrokosmos

HMI dan Gerakan Intelektual Profetik
Dengan kesadaran teologis sebagaimana diatas, gerakan intelektual sebagimana dilansir Ali Syari’ati harus mempu merubah dan menggerakkan perubahan sosial kearah yang humanis, egaliter dan berkeadilan, ditengah persoalan keumatan yang kian bias dan tak memberikan harapan bagi kebebasan memperoleh hak-hak kemanusiaannya.

Ditengah persoalan keumatan yang tidak memberikan ruang politik, sosial, hukum, dan ekonomi yang adil, peran kelompok intelektual kian mendesak dibutuhkan. Sebab munculnya penguasa-penguasa Negara yang korup, otoriter—dengan pengambilan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat—, tidak memiliki integritas kepemimpinan, harus dilawan dengan pola pembangunan opini serta membuka ruang seluas mungkin bagi proses-proses menuju kesadaran masyarakat sehingga akan secara bertahap menumbuhkan kekuatan rakyat yang nantinya mampu membangun posisi kekuatan control atas sekian kebijakan-kebijakan yang di ambil penguasa Negara. Intelektual yang dimaksud tentu tidak dalam konteks perselingkuhan dengan kekuasaan sebagaimana yang marak akhir-akhir ini, yang hanya menjadi alat pembenaran secara rasional dan konseptual bagi kepentingan penguasa dalam setiap pengambilan keputusan, namun intelektual yang mempunyai power of sosial control, penggerak perubahan dan selalu memiliki visi konstruktif dalam setiap memandang laju budaya yang sarat dengan anomali-anomali kemanusiaan. Ada alasan yang mendasar mengapa kelompok intekektual—kelompok masyarakat menengah—ini menjadi penting dalam proses perubahan sosial. Pertama, bahwa idelisme yang dimiliki kelompok menengah ini meniscayakan setiap perubahan tidak akan lepas dari aras dasar kebutuhannya. Kedua, adanya semangat perubahan yang dilandasi kesadaran visi kemanusiaan. Dan ketiga bahwa intelektual memiliki posisi sangat strategis bagi proses-proses kondolidasi, baik di massa menengah sendiri, rakyat bawah maupun akses yang cukup di tingkat atas.

Bagaimanapun persoalan-persoalan ketimpangan sosial yang kian kritis, lantaran akses untuk memperoleh hak kemanusiaan masyarakat yang makin terbatas di bangsa ini, selain disebabkan oleh keserakahan penguasa, terlebih lagi adalah disebabkan tidak adanya konsolidasi rakyat yang kuat yang mampu membendung setiap kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Himpunan Mahasiswa Islam, sebagai organisasi maupun gerakan yag memiliki visi keumatan tentu mempunyai tanggung jawab besar bagaimana mengupayakan secara maksimal kesadaran intelektual ini. Insan ulil albab, sebagai pribadi impian HMI adalah manusia unggul yang sanggup mencerap nilai-nilai ketauhidan secara universal sehingga memunculkan kesadaran bergerak untuk melakukan perubahan sosial yang berpihak pada kaum lemah dan terpinggirkan. Disisi inilah kiranya perubahan sosial tidak dimaksud sebatas perubahan kearah keadilan material semata---sebagaimana yang selama ini diusung olek penganut marxis—tapi lebih jauh adalah perubahan sosial yang didasari kesadaran akan fitrah penciptaan, kebertuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan untuk apa manusia sejatinya diciptakan.

Pada ranah ini maka peran intelektual profetik harus memiliki strategi perubahan bagaimana memungkinkan setiap gerak perubahan dilandasi secara sadar dari aspek-aspek kemanusian sekaligus transendensi yang kuat dan terarah. Bahwa hanya pada Allah-lah ketertundukan manusia bermuara. Tentu jika hal ini terinternalisasi secara mengakar dalam setiap gerak, laku dan pemikiran maka semangat untuk membongkar dan memusnahkan keangkuhan, keserakahan, dan penindasan—serta perilaku lain yang bertentangan dengan hakekat penciptaan manusia—akan terus bergolak.


Sunday, March 4, 2007

PENGUKUHAN KHITTAH PERJUANGAN

Posted On 9:38 PM by Pengader Online 0 comments

DITENGAH ARUS UTAMA NEO-LIBERALISME.
Oleh : Khilmi Zuhroni ZA

Setiap yang berpretensi menjadikan materi sebagai orientasi dan pusat segala tujuan adalah pengingkaran atas hakekat penciptaan manusia. Sebab manusia diciptakan sebagai perwujudan nilai-nilai tauhidi, malalui ruh Tuhan yang ditiupkan padanya (QS. Al-Hajj: 5), dalam realitas konkret sebagai sebentuk gambaran akan kebesaran Tuhan, serta kehendak-Nya menjadikan manusia sebagai khalifah, pengemban amanah dan penyampai ajarannya untuk menjaga alam dan semestanya secara harmoni. Sementara materi hanyalah seonggok media pendukung bagi proses menuju penyingkapan rahasia-rahasia-Nya yang tersebar secara sistemasis dalam sunnah, dan tata aturan hukum alamnya.

Ruh Allah inilah satu-satunya pembeda serta puncak ketinggian penciptaan yang membedakan antara manusia dengan makhluk selainnya, baik malaikat, semesta bendawi maupun jin, setan dan selainnya. Dalam melakukan interpretasi rasional, Fazlur Rahman, menyebut setan sebagai semua tindakan dan nafsu manusia yang berpretensi kearah hilangnya kesadaran kemanusiaan, sehingga Tuhan sebagai Dzat pencipta, tidak mampu ditangkap atau bahkan justeru dinafikan sebab tidak mampu memenuhi nasfu serta hasrat pemenuhan materi tersebut. Manusia memang secara fisik terbentuk dari persemaian berbagai unsur tanah yang dibentuk sedemikian rupa dengan kebesaran kuasa-Nya hingga mewujud dalam bentuk fisik sebagaimana adanya. Namun, wujud fisik yang materi ini sangat berbeda dengan sebentuk materi-materi lainya, sebagai meja, batu, hewan, juga oksigen. Dia memiliki seperangkat akal, yang memungkinkan adanya kehendak kebebasan memilih diantara realitas yang dia lihat dan temui dalam olah pengalaman, beriman atau kafir, baik atau buruk, juga menjadi maklaikat atau iblis. Dengan akal itulah ruh kebebasan mutlak yang hanya dipunyai oleh Tuhan, dapat termanifes dalam realitas hidup manusia, meski tetap dalam ruang kebebasan sebagai makhluk yang diciptakan. Ketiga, selain ruh dan akal, manusia memiliki seperangkat emosi/jiwa yang mampu menggerakkan manusia selalu berproses menuju harmonisasi alam, semesta, dan relitas virtual dimana kesejarahan manusia akan dibangun. Dengan emosi, mereka menjadi bahagia, sedih, perasa, kejam, keji, murtad, pengasih, pemberi, pendusta dan selainnya. Anasir tanah dan ruh yang ada dalam manusia, haruslah dimaknai sebagai kehendak penciptaan bahwa sekalipun secara materi dia menginjakan kakinya di bumi, berproses dalam alam dan lingkungannya, menjalankan peran-peran kehalifahannya, namun secara substansial ruhnya selalu berada dan dekat dengan nilai-nilai transendensi ketuhanan dengan menjalankan tugasnya sebagai abdullah. Manusia adalah makhluk spritual sekaligus materi, ruh sekaligus bendawi, yang dengannya pesan-pesan Tuhan yang terkandung dalam sifat dan asma-Nya paling mungkin dicerap untuk ditrasnformasikan dalam relitas kesejarahan umat manusia.

Secara global, pertarungan abadi peradaban sebetulnya hanya terjadi antara Tuhan sebagai wujud nilai-nilai kebaikan dan setan sebagai simbol nilai kejahatan, spiritual dan material, serta akal dan wahyu. Dalam dunia filsataf itu dapat berarti pertarungan antara idealitas dan relitas, nuomena dan fenomena, substansial dan partikular, serta teks dan relitas. Kiranya proses tesis-sintesis ini, sebagai sebuah dialektika besar pembangun keadaban, harus dilihat sebagai sunnatullah dimana proses menuju kesempurnaan akan tercapai. Sekalipun dalam realitas perjalannya kadang kebaikan yang lebih unggul, materialisme lebih berkuasa, setan lebih kuat, dan ruh lebih berperan dari marteri jasadi.

Namun menjadi persoalan jika dorongan materialisme ini ternyata secara sistematis dan terstruktur walaupun terlihat acak, acapkali mendorong bagi bangkitnya kerajaan “Taghut” materialisme, dalam bentuk dan wujudnya yang beraneka ragam yang berakibat kian hilangnya kesadaran kemanusiaan, diskriminasi, ketidakseimbangan alam, dekadensi, alienasi, dan berbagai penyakit semesta yang ditimbulkan oleh keserakahan akumulasi materi. Pada aspek inilah sebetulnya bagunan paradigmatik sebagai kerangka “perlawanan” terhadap akumulasi materi menjadi niscaya untuk mengembalikan manusia menuju hakekat awal penciptaannya.

Mengurai Struktur dasar Paham Neo-Liberalisme
Sebagaimana dalam uraian diatas sebetulnya neo-liberalisme tidak harus ditempatkan sebagai gejala baru, aneh, dan spesial sehingga menjadikan pudarnya nilai-nilai ketuhanan, munculnya sikap-sikap pesimistik, kehilangan kendali, dan menguatnya rasa putus asa dalam menghadapi gejala yang dianggap baru tersebut. Sebegitu anehnya sehingga seolah tidak mampu lagi diurai struktur dasar gejala baru apa yang sebetulnya ada dan mengusung paham tersebut. Sebagai sebuah isme, neo-liberalisme tetap memiliki kerangka dasar munculnya bangunan tersebut, sekalipun pada fakta-fakta perjalanannya, neoliberalisme memiliki varian cara dan bentuk yang luar biasa beragam. Neo-liberalisme adalah akumulasi materialisme yang lebih tersistematis, dengan variasi, model dan gaya yang baru, yang memiliki kemampuan selalu memperbaharui diri, namun substansi dasarnya tetaplah sama yakni pengingkaran terhadap spiritual sebagai jalan menuju tujuan dasar mencapai keridloan Allah yang seharusnya dijadikan landasan gerak bagi setiap aktifitas manusia. Neoliberalisme adalah keadaan dimana semua aspek hidup hanya dilandaskan pada dominasi materi, yang terakumulasi pada kekuatan modal, sehingga tidak ada lagi batas antara kewilayahan states, nation, cultur, maupun idiologi, sebab yang diakui dan memiliki kekuatan hanyalah sebesar apa kekayaan modal yang miliki, maka sebesar itu pula dia mampu mengontrol kelangsungan hidup manusia secara global.

Jika prinsip sosial Islam didasarkan pada ajaran semakin besar manusia bermanfaat dan berguna (shadaqah) bagi manusia yang lain, semakin besar pula Velue Added keridloan Tuhan akan didapatkan (QS: Al-Baqarah; 261-163), maka prinsip neo-liberalisme justeru sebaliknya bahwa semakin pelit dan kikir manusia semakin cepat mencapai kekayaan, guna mencapai sebanyak mungkin penumpukan modal, semakin kuat pula ia menekan dan mengontrol kekuatan lain. Prinsip sosial dan ekonomi ini tentu saja didasarkan pada cara pandang individu sebagai faktor utama dengan materi sebagai pusat segalanya. Demikian halnya, dalam perpektif ini, tentu saja kebaikan hanya didasarkan pada nilai subyektifitas sejauhmana setiap perbuatan yang dilakukan memiliki nalai tambah serta keuntungan bagi akumulasi materi yang dia kumpulkan.

Disinilah kiranya neo-liberalisme sebagai sebuah sistem baru ekonomi, yang mendewakan persaingan pasar sebagai faktor utama penentu keberhasilan sebuah bangsa, dengan memangkas peran negara dalam setiap kebijakan ekonomi yang berjalan, serta melepaskan semua sumber-sumber produksi penting pada sistem liberalisasi, dan privatisasi, memiliki implikasi yang sangat besar pada persaingan arogansi individu atau kelompok individu terhadap sebagian kelompok yang lain yang akan berujung pada, hegemoni budaya, dominasi sumber produksi, dehumanisasi serta marginalisasi kelompok yang lemah dan terpinggirkan. Modal menjadi sangat berperan pada strategi penguasaan ekonomi politik atas negara-negara yang memiliki keterbatasan modal bagi mengembangan dan pengelolahan sumber daya alam. Disinilah lantas dikenal apa yang kemudian disebut sebagai utang luar negeri. Utang luar negeri adalah seperangkat paket pinjaman berbunga yang yang diberikan oleh negara-negara kreditor yang tergabung dalam institusi besar IMF maupun Word Bank, kepada negara-negara yang tidak mampu melaksanakan serta menjalankan kebijakan lantaran kurangnya modal yang dimiliki. Utang yang dimaksud sekali lagi bukan sebagaimana utang antara perseorangan, individu dengan individu, akan tetapi utang yang didalamnya ada paket-paket yang harus disepakati sebagai jaminan utang.

Paket kebijakan IMF (international Monetary Found) yang dipaksakan pada negara penghutang adalah : 1) Penetapan anggaran ketat dengan melakukan pencabutan subsidi; 2) liberalisasi perdagangan, melalui penghapusan bea import; 3) privatisasi sektor BUMN; dan 4) sistem keuangan bebas mengambang. Sementara negara-negara miskin yang terjerat dalam utang luar negeri karena tidak mampu melaksanaan kebijakan negaranya, disisi lain mereka harus pula menaggung beban keterpurukan sosial yang sangat tinggi dengan pelaksanaan berbagai kebijakan yang berpihak pada negara-negara kreditor dan koorporasi-koorporasi besar yang bernaung di bawah payung lembaga bantuan internasional baik IMF maupun Word Bank tersebut (Mansour Faqih :2001). Selain neo-liberalisme yang lebih memihak pada TNCs (Trans National Coorporations) untuk kepentingan akumulasi kapital berskala global, paket-paket kebijakan IMF atas negara-negara penghutang yang berimplikasi dengan dibangunnya proyek-proyek raksasa, sebagai konsekuensi utang sebab liberalisasi perdagangan dan pencabutan subsidi mulai berjalan, efek yang sangat parah juga dapat dilihat dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, pencemaran alam, pemanasan global (Global warming), ketahanan pangan yang kian menipis, serta lebih sadis lagi, hancurnya tata budaya sosial kehidupan masyarakat, dengan adanya ketergantungan atas utang dan hegemoni budaya yang berbarengan masuk dengan perusahaan-perusahaan asing tersebut. Negara-negara miskin seolah hanya dijadikan tempat produksi barang-barang trasnasional, tanpa peduli pada aspek kerusakan lingkungan apa yang bakal ditimbulkan, yang selanjutnya hasil-hasil produksi itu diangkut dalam produk jadi ke negara dimanakebutuhan akan barang itu diinginkan. Dengan bahan mentah yang melimpah, tenaga kerja yang murah, serta efek kerusakan yang tidak dirasakan, begitulah strategi perusahaan-perusahaan raksasa itu didirikan di hampir semua negara.

Ditengah kondisi krisis identitas tersebut, nilai-nilai tauhid menjadi tidak penting untuk diperbincangkan. Kearifan budaya menjadi bias tergusur bercampur aduk dengan budaya pop, gaul, kebiasaan-kebiasaan instan, efisiensi, dan kehidupan pragmatis yang lain. Manusia tidak lagi percaya dengan kekuatan dirinya sebab segala fasilitas telah disediakan oleh tren teknologi yang berkembang, sejak dari lahir, bangun tidur, sampai tua dan bahkan meninggal sekalipun. Kemanusiaan kian hilang, tenggelam dalam gelimangan dominasi teknologi, homogenitas budaya one dimentional man, teralinasi dalam ruang hidupnya sendiri.

Kembali ke Akar; upaya Pengukuhan Khittah Perjuangan
Mengutip bahasa Musthofa Bisri, ketika manusia sudah semakin jauh dari hakekatnya, maka kembalilah ke akar untuk menggali kembali sumber dasar sebagai pencarian jati diri, hakekat penciptaan. Mudik dari hiruk pikuk gemerlapan dunia menuju nilai-nilai dasar tauhid, mencapai keselamatan dan kedamaian Islam.
Kembalilah…lihatlah dirimu,
Bercerminlah, ada noda tebal yang harus kau bersihkan
Agar jiwa dan ragamu sampai pada pengharapan abadi;
Tiba di haribaan Tuhan.


Khittah perjuangan, sebagai landasan gerak HMI dalam melakuan aktifitas/usaha organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan yakni, terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab sehingga turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridlai oleh Allah SWT, memiliki satu sistem penjelas yang sangat integral dan sistemasis. Sebagai tafsir integral atas asas Islam, Khittah Perjuangan menghendaki nilai-nilai Islam yang dinamis dan universal. Keberislaman manusia haruslah didasarkan pada pemahaman akan keyakinan “Tauhid” yang dinamis yang didasarkan atas pemahaman-pemahaman akan dasar adanya Allah sebagai pencipta alam semesta, yang didalamnya ada tata nilai dimana jika tetap diyakini sebagai kebenaran, maka kesejatian diri manusia dan kebesaran penciptaan-Nya akan membawa kepada harmonisasi kehidupan serta keselamatan yang hakiki. Disinilah kemudian konstruksi sosial yang berorientasi pada meteri secara praksis akan tergusur oleh landasan tauhid dan konsepsi idiologi keislaman yang kuat.

Dalam ranah praksis strategis jika konsepsi ini dikuatkan, maka upaya gerakan transformasi menuju tatanan dunia yang adil, sejahtera dan damai sangat mungkin terwujud. Dalam Khittah Perjuangan, individu yang termanifestasi dalam insan ulil albab digambarkan sebagai sosok ideal HMI, yang padanya tanggung jawab kekhalifahan harus dijalankan. Setiap individu memiliki potensi yang sama untuk melakukan kerusakan dimuka bumi, tinggal bagaimana dari unsur-unsur itu yang dominan. Apakah nafsu yang membawa pada kerusakan, ataukah kesadaran kebertuhanan yang lebih dominan, maka hanya dengan menumbuhkan kesadaran individu kepada konsepsi tauhid-lah upaya pembebasan dari belenggu materialisme dapat diwujudnya. Hanya saja bagaimana usaha menuju ke tingkat kesadaran individu inilah yang harus lebih banyak di lakukan pengkayaan strategi gerakan yang sistematis dan tertata, sehingga kebesaran konsep akan tatanan masyarakat yang diridloi oleh Allah tidak sebatas menjadi imajinasi semata.

Melihat kondisi budaya massa yang semakin mengarah pada arus dominasi pragmatisme, liberalisme individu dan homogenitas budaya, yakni budaya yang disetting pada pusaran pasar bebas neoliberalisme, tantangan gerakan tidak hanya pada politik ekonomi secara eksternal semata, namun tantangan lebih besar adalah secara internal pada perubahan kecenderungan dan karakter individu dari cara pandang sosial kritis pada rezim otoriterisme Soeharto menuju pragmatis individualistik di era keterbukaan sistem politik. Pada ranah ini, setting kondisi gerakan tidak lagi dapat diarahkan pada perlawanan secara vis a vis dengan dominasi kekuasaan tertentu, tapi harus lebih kepada sejauhmana gerakan mampu melakukan revitalisasi nilai-nilai dasar dengan lebih difokuskan pada penguatan dan kesadaran di tingkat individu kader.

Potensi besar HMI yang masih memungkinkan dilakukan revitalisasi di wilayah gerakan adalah pilihan gerakan intelektual. Gerakan intelektual tidak dimaksudkan sebatas eksplorasi wacana semata, namun harus pula diimbangi dengan pendekatan sosial kritis dengan lebih banyak bertumpu pada relitas permasalahan sosial keumatan. Disinilah kemudian gagasan sosial Islam, dan teori-teori sosial kritis harus lebih banyak porsinya diberikan dalam setiap materi-materi pelatihan, baik dalam pelatihan umum yang. Kedua, pada ranah pembangunan basis kesadaran yang kuat, pola-pola pendampingan kader harus lebih banyak dilakukan dengan metode yang tidak hanya bertumpu pada diskursus semata, tapi juga dengan melakukan analisa sosial sebagai upaya optimalisasi gerakan berbasis data. Ketiga, ditengah kebutuhan gerakan akan jaringan dan pola relasi sosial guna mendorong kearah percepatan perubahan, HMI harus mampu mengakomodasi kekuatan-kekuatan lain baik yang se-Khittah maupun yang memiliki aras visi perubahan yang sama, disamping tetap memaksimalkan peran-peran alumni.

Dengan demikian kiranya neoliberalisme yang lebih menitik beratkan pada perubahan konsepsi individu yang diarahkan pada semangat konsumerisme berdasarkan atas tren budaya global, harus dilawan dengan penguatan kesadaran diranah individu yang sama. Kesadaran yang dimaksud adalah proses menuju pemahaman hakekat peran dan fungsi penciptaan manusia, yakni sebagai pribadi yang tunduk “abdullah” dan pribadi yang kreatif “khalifatullah”.


Thursday, March 1, 2007

Korp Pengader HMI

Posted On 1:15 PM by Pengader Online 0 comments

Edi Ryanto

Sebuah tulisan yang mengulas tentang berbagai macam tetek bengek permasalahan yang mengitari eksistensi Korp Pengader HMI dari masa ke masa. Ditulis pada paruh tahun 2001 oleh seorang aktivis HMI, sekarang sebagai Direktur Tamzis Jakarta

Belum diketahui kapan tepatnya Korp Pengader HMI dibentuk. Dugaan sementara lembaga ini lahir tidak lama setelah HMI berhasil menata perkaderannya pada dasawarsa enampuluhan. Namun draft Pedoman Dasar dan dokumen penunjang lainnya baru dibahas pada Kongres ke-15 1983 di Medan.

Selama lima belas tahun terahir sedikitnya empat kali lembaga ini berganti nama sesuai dengan kecenderungan dan perkembangan pemikiran di dalamnya. Semula Lembaga ini bernama Corps Instruktur kemudian dirubah menjadi Corps Penge/ola Latihan pada Lokakarya Perkaderan tahun 1983 di Surabaya. Penggantian nama ini seiring menguatnya kesadaran untuk mengubah pendekatan pelatihan di HMI ke pendekatan yang lebih “manusiawi”.

Perlu diketahui, meski sejak lokakarya perkaderan Kaliurang (1975) HMI telah menetapkan kesejajaran (egaliter) antara pengelola dengan peserta latihan, tetapi pelaksanaannya masih menempatkan peserta sebagai obyek. Di sisi lain pengelola latihan memiliki wewenang yang hampir tidak terbatas dalam "memainkan" peserta. Pada pendekatan seperti ini pengelola adalah sosok yang serba tahu yang tidak bisa disanggah pendapatnya. Segala perintah pengelola harus ditaati peserta. Mereka juga punya hak untuk menghukum peserta jika dianggap melanggar peratu­ran. Pelatihan tidak ubahnya seperti perpeloncoan. Dengan pendekatan seperti itu instruktur memang kata yang paling tepat digunakan. Dan lembaga yang menghimpunnya disebut Corps Instruktur.

Pendekatan seperti itu memang sangat ampuh diterapkan tahun enampuluhan terutama ketika HMI menghadapi ancaman PKI, tetapi terasa tidak memadai ketika situasi berubah dan tuntutan prestasi meningkat. Pendekatan seperti itu tidak melahirkan kader yang kreatif dan inovatif dalam mengantisipasi perubahan.

Tahun 1985 Corps Pengelola Latihan dirubah lagi menjadi Lembaga Penge/ola Latihan (LPL). Manurut beberapa orang yang aktif saat itu, kata Corps terkesan elitis dan berimplikasi psikologis terhadap sebagian besar anggotanya. Pertama, terjadi penurunan usaha menambah pengetahuan dan keterampilan di kalangan anggota HMI yang menjadi anggota Corps. Mereka merasa sudah menjadi petinggi HMI. Hal ini didukung oleh rekruitmen yang hirarkis sehingga ketika lulus dari Senior Course, mereka merasa telah sampai ke puncak jen­jang. Kedua, muncul kecongkakan di kalangan anggota Corps terutama ketika berhadapan dengan anggota yang dianggapnya masih yunior. Kecongkakan ini terlihat nyata saat mereka bertugas mengelola latihan dengan menuntut perlakuan istimewa dari panitia.

Sebagian orang menilai penggunaan nama LPL mereduksi misi lembaga mengingat tugasnya bukan hanya mengurusi latihan tetapi seluruh model perkaderan beserta segala aspeknya. Latihan hanyalah salah satu model dalam perkaderan HMI. Selain itu Penggunaan nama LPL juga menimbulkan kerancuan manajerial seakan hanya LPL lah penyelenggara latihan di HMI. Pada prakteknya pelatihan ditangani tidak hanya oleh LPL tetapi juga oleh bidang latihan/kader di tingkat cabang terutama yang berkaitan dengan administrasi latihan. Celakanya belum ada kejelasan bagaimana mekanisme kedua lembaga ini ketika menangani sebuah pelatihan.

Lokakarya Perkaderan 1992 mengubah nama LPL menjadi Korp Pengader. Tidak diketahui persis alasan apa yang mendasari perubahan ini. Barangkali dimaksudkan mengembalikan misi dan menghilangkan kerancuan. Tatapi mengapa kembali menggunakan kata Korp dan istilah baru Pengader. Tidakkah kedua istilah ini memunculkan kembali kesan elitis?

Posisi dan Peran Korp Pengader
Korp Pengader adalah salah satu lembaga khusus yang dimiliki HMI saat ini. Tetapi sampai saat ini masih dua persoalan yang perlu dijernihkan yaitu posisi yuridis Korp Pengader dan kekhususan apa ying melekat pada lembaga ini. Persoalan pertama muncul akibat ada perbedaan antara pasal-pasal ART yang mengatur Korp Pengader dengan pasal-pasal pada Pedoman Korp. Persoalan kedua disebabkan kesalahan penafsiran terhadap kekhususan Korp, apakah bidang garapannya (perkaderan) ataukah subyek garapnya (pengader).

ART HMI menempatkan Korp Pengader sebagai lembaga khusus pembantu pimpinan HMI dalam melaksanakan amanahnya yang berkaitan dengan peningkatan kualitas para pengader dan bersifat otonom. ART juga menyebutkan Ketua Korp dipilih oleh pimpinan HMI atas usulan Musyawarah Korp. Pengurus Korp dilantik dan bertanggung jawab kepada pimpinan HMI di tingkatnya yaitu Ketua umum Pengurus Besar unruk tingkat nasional dan Ketua Cabang di tingkat cabang. Dengan demikian menurut ART Korp Pengader berada di bawah pimpinan HMI(1). Sementara itu Pedoman Korp Pengader yang berlaku saat ini tidak menempatkan diri di bawah pimpinan HMI dan memiliki hubungan konsultatif dengannya. Pada prakteknya aturan menurut Pedoman Korp Pengader inilah yang berlaku. Lebih dari itu Korp menempatkan dirinya sebagai penasehat bahkan pengontrol cabang. Kedudukan ini didukung oleh kenyataan pengurus Korp Pengader pada umumnya adalah mantan pengurus cabang periode-­periode sebelumnya sehingga dari sisi usia maupun keterlibatan di HMI dianggap lebih senior. Korp sering memerankan sebagai MSO (Majelis Syura Organisasi) tingkat cabang. Ketidaksambungan ini menimbulkan suasana kerja yang tidak nyaman.

Ada beberapa kemungkinan mengapa ketidak-sambungan ini terjadi. Pertama, Pedoman Korp disusun tidak merujuk pada Anggaran Dasar HMI tetapi sepenuhnya mengikuti aspirasi Musyawarah Korp. Pada sisi lain peserta kongres tidak teliti ketika melakukan pengesahan pedoman-pedoman HMI. Kedua, terjadi perubahan isi ART yang menyangkut lembaga khusus dan kekaryaan yang tidak dibarengi dengan penyesuaian Pedoman Korp. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat peserta kongres tidak selalu memiliki kemampuan melihat HMI secara integral dan komprehensif apalagi bila menyangkut de­tail. Ketiga, tidak tertutup kemungkinan adanya keengganan pengurus Korp menyesuaikan diri dengan ART yang menempatkannya pada posisi di bawah pimpinan HMI.

Terlepas dari apakah ketidaksambungan ini akibat ketidak sengajaan atau pun alasan yang lain seharusnya tidak dibiarkan berlarut­larut. Menurut kaidah hukum, jika ada dua aturan hirarkis bertentangan, maka aturan yang berada di atas dimenangkan. Dalam konrek ini Pedoman Korp harus tunduk pada pasal-pasal Anggaran Rumah Tangga rujukannya.

Sesuai namanya sebenarnya sudah cukup jelas bahwa subyek garaplah (para pengader) yang menjadikan Korp Pengader bersifat khusus. Hal ini konsisten dengan Pedoman Perkaderan yang menempatkan anggota Korp Pengader hanya sebagai salah satu penangung jawab perkaderan. Pedoman Perkaderan membedakan penanggung jawab perkaderan menjadi dua yaitu penanggung jawab kebijakan dan penanggung jawab lapangan. Penanggungjawab kebijakan adalah mereka yang pada jabatannya di kepengurusan berwenang merancang dan memutuskan kebijakan perkaderan. Di Tingkat Komisariat biasanya departemen kader, di tingkat cabang dan nasional disebut bidang latihan/kader. Pengelola lapangan dibedakan lagi menjadi pengelola konsep dan pengelola teknis. Pengelola konsep terdiri dari para pemandu dan penyampai kajian (anggota Korp Pengader), sedang pengelola teknis adalah panitia pelaksana.

Dalam kenyataan aktualnya, Korp Pengader diperlakukan atau menempatkan dirinya sebagai penanggungjawab keseluruhan perkaderan sehingga pihak lain menjadi merasa tidak berhak ketika berbicara perkaderan. Dengan memperhatikan syarat-syarat keanggotaan, sistem rekruitmen dan tugas keseharian anggota KP, penempatan Korp Pengader seperti saat ini memberi andil terhadap reduksi makna perkaderan menjadi hanya sebatas pelatihan bahkan dipersempit lagi menjadi Latihan Kader I saja.

Implikasi lain dari penempatan diri seperti itu munculnya kerancuan penyelenggaraan Lokakarya Perkaderan dilihat dari kriteria peserta dan agenda yang dibahas; Pertama, Karena perkaderan urusannya para pengader maka yang berhak hadir di Lokakarya Perkaderan hanya mereka yang tergabung dalam Korp Pengader. Padahal kalau kita kembalikan ke Pedoman Perkaderan tentang siapa yang disebut sebagai penanggungjawab perkaderan, maka sesungguhnya forum itu justru lebih tepat dihadiri oleh para pengambil kebijakan di bidang perkaderan dari mulai komisariat sampai ke tingkat nasional. Korp Pengader hanya salah satu peserta. Kedua Lokakarya bertugas merumuskan Pedoman Perkaderan yang diturunkan langsung dari Anggaran Dasar pasal 6 tentang usaha dan disingkronkan dengan GBRO, Khitah dan Anggaran Rumah Tangga. Selama ini Lokakarya Perkaderan juga membahas pedo­man-pedoman intern Korp Pengader yang seharusnya dibahas di fo­rum lain yang disebut Musyawarah Nasional Korp Pengader.

Persoalan lain yang cukup layak dibicarakan adalah pentingnya kehadiran Korp Pengader Nasional. Sampai saat ini PD/PRT Korp pengader tidak mengaturnya, padahal sejak beberapa tahun terakhir kehadiran Korp nasional sangat dibutuhkan mengingat kekuatan Korp di beberapa cabang tidak merata sehingga kadang-kadang untuk melaksanakan Pelatihan paska LK I perlu mendatangkan Pengader-­pengader dari cabang lain yang sampai kini belum ada kesepakatan mekanismenya(2).

Kongres ke-22 yang baru lalu sebenarnya sangat diharapkan mampu menyelesaikan persoalan ini, tetapi entah karena kelelahan atau ketidaksiapan konsep, Musyawarah Nasional Korp Pengader gagal melahirkan sesuatu yang baru termasuk menyelesaikan dua persoalan klasik di atas.

Dokumen Intern Korp Pengader
Sebagai lembaga otonom, Korp Pengader memiliki dokumen­dan aturan intern. Pedoman (dasar) Korp Pengader merupakan dokumen tertinggi di Korp Pengader yang dijabarkan lagi menjadi aturan yang lebih dalam. Misalnya pasal mengenai etik pengader diatur dalam Konsep Diri Pengader, pasal yang berkaitan dengan rekruitmen dan kualifikasi anggota dituangkan dalarn Klasifikasi dan Kualifikasi Pemandu dan Penyampai Kajian.

Saat ini di Korp Pengader Cabang Yogyakarta dan tidak tertutup kemungkinan di cabang-cabang lain terjadi kerancuan dalam penempatan dokumen-dokumen intern Korp, baik dokumen yang bernilai yuridis maupun dokumen teknis. Dokumen-dokumen yang seharusnya hirarkis digabung menjadi satu dan diberi nama Pedoman Pengader, suatu nama yang sulit dicari rujukannya dalam konstutitusi HMI. Pedoman Pengader mungkin semula dimaksudkan hanya sebagai buku pintar gabungan dari Konsep Diri Pengader, Pedoman Korp, Klasifikasi Pemandu, Klasifikasi dan Kualifikasi Penyampai Kajian, Petunjuk Teknis Pelaksanaan LK I, makalah-makalah mengenai perkaderan dan kependidikan plus blanko-blanko yang biasa dipakai di LK 1. Penggabungan ini semula hanya bersifat teknis agar mudah dicangking ke mana-mana dan sarna sekali tidak memiliki nilai yuridis. Belakangan dokumen ini memperoleh "justifikasi" sehingga dianggap dokumen resmi.

Agar keutuhan konsep tetap terjaga, sebaiknya kerancuan ini segera diakhiri sebelum menjadi tradisi yang tidak lagi diketahui dasar pemikirannya sehingga menjadi takhayul baru di HMI.

Sejauh ini kita sengaja menghindari bicara isi dokumen-dokumen Korp. Barangkali cukup dikatakan di sini bahwa selayaknya semua dokumen Korp dikaji ulang baik dasar filosopinya maupun kesingkronan antar dokumen. Perlu pula dikemukakan bahwa sebagian isi dokumen Korp disusun jauh sebelum HMl melakukan penegasan sikap dan ditetapkannya Khitah Perjuangan HMI, sehingga tidak tertutup kemungkinan terdapat pertentangan di dalamnya.

Rekruitmen Dan Pembinaan Anggota Korp Pengader

Untuk menjadi seorang pemberi materi di Perkaderan Formal HMI, seseorang harus melewati beberapa tahap untuk menjamin kualitas, loyalitas, pemahaman dan keutuhan penghayatan perjuangan HMI. Tahap paling dasar tentu saja ia harus lulus Latihan Kader I (lebih dikenal dengan istilah Batra), dan Latihan Kader II (intra). Selanjutnya dia harus mengikuti Coaching Instruktur (Cl) dan Senior Course (SC). Coaching instruktur melahirkan para pemandu sedangkan Senior Course melahirkan penceramah. Dengan demikian mereka yang baru lulus Coaching lnstruktur belum berhak memberi materi, ia hanya bertugas sebagai pemandu, jika ia ingin menjadi penceramah ia harus mengikuti Senior Course. Sedangkan salah satu syarat mengikuti Se­nior Course, lulusan Coaching lnstruktur harus memiliki pengalaman lapangan terlebih dahulu.

Sesuai dengan posisi dan targetnya, Coaching lnstruktur berisi materi-materi yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi pemandu, yaitu materi-materi Ke-HMl-an, materi kependidikan dan materi tentang pengelolaan Training. Sedangkan Senior Course lebih banyak membicarakan kurikulum Training, metode penyampaian dan tukar pengalaman dari para penceramah "senior". Kedua lembaga ini (CI dan SC di cabang-cabang lain masih dilaksanakan, sedangkan di cabang Yogyakarta atas dasar pertimbangan situasi dan kondisi keduanya digabung menjadi satu dan diberi nama Kursus Pengader. Dengan demikian, Kursus Pengader materi-materinya dirancang untuk melahirkan Pemandu sekaligus penceramah. Hanya saja berdasarkan pengalaman, target tersebut tidak bisa dicapai sehingga lulusan Kursus Pengader diharuskan magang menjadi pemandu sebelum menjadi pemandu sesungguhnya. Berapa jumlah magang yang harus dilewati oleh seorang lulusan Kursus Pengader tergantung potensi, prestasi dan kecenderungan yang diperlihatkan selama Kursus berlangsung. Jumlah magang ini dijadikan kriteria kelulusan. Biasanya berkisar antara satu sampai lima.

Di cabang Yogyakarta coachig intruktur tetap diselenggarakan tetapi sudah berbeda maksudnya dengan coaching instruktur dalam pengertian lama. Coaching Instruktur di Yogyakarta adalah institusi formal kenaikan jenjang dari penyampai kajian di LK I menjadi pemandu di LK II dan kursus pengader. Dengan demikian coaching instruktur di cabang Yogyakarta lebih tinggi jenjangnya di atas kursus pengader.

Mulai tahun 1988 lulusan Kursus Pengader (Yogya) selain dibebani kewajiban magang, juga diharuskan melakukan presentasi dengan mengajukan makalah tentang materi tertentu di hadapan team penguji. Dalam presentasi ini dinilai penguasaan materi, teknik penyampaian, retorika dan penghayatannya. Jika lulus, dia berhak menjadi penceramah materi yang diujikan, tetapi jika gagal, hams mengulang lagi. Kelulusan ini hanya berlaku untuk satu materi, sedangkan jika ia ingin menjadi penceramah materi yang lain, wajib melakukan presentasi lagi.

Diakui atau pun tidak ternyata para pemandu dan instruktur banyak yang berani menjadi penyampai materi di hadapan para peserta LK 1, enggan dinilai di depan team penguji yang nota bene kawan-kawannya sendiri. Apalagi presentasi harus disertai makalah. Padahal kita tahu tradisi dan keterampilan anggota Korp dalam hal tulis menulis sangat lemah. Akhirnya lembaga presentasi ini macet, angker dan menjadi momok bagi sebagian anggota Korp. Muncul pula anggapan dan penilaian bahwa presentasi hanyalah sebuah institusi untuk mempertahankan status qua para penceramah "senior"

Lama kelamaan dari sekian banyak anggota KPC hanya sedikit yang memiliki lisensi menjadi penceramah. Sementara frekwensi dan volume LK I di cabang Yogyakarta terus meningkat. Hal ini menjadi persoalan dilematik bagi pengurus KPC dan bidang latihan di cabang. Satu sisi jika ia berbaik hati menurunkan orang yang belum presentasi, jelas tidak bisa menjamin kualitasnya dan akan berimplikasi pada kader-kader yang dihasilkannya. Tetapi jika tidak diijinkan turun, berarti mensia­siakan potensi yang dimiliki anggota tersebut.

Dalam situasi semacam ini muncul gagasan Konsorsium dari Saudara Lukman Hakim (1993). Gagasan ini termasuk jalan tengah diantara dua situasi yang menyulitkan. Dalam benak Lukman konsorsium adalah presentasi yang disederhanakan dimana presentator tidak diharuskan membuat makalah tetapi cukup membuat out line materi. Durasi pun dipersingkat menjadi hanya 30 menit, sehingga dalam satu kali penyeleng­garaan konsorsium bisa tampil ratusan presentator. Dengan durasi yang sangat singkat (bandingkan dengan presentasi yang 120 menit), pengujian menjadi tidak teliti. Konsorsium akhirnya terkesan hanya formalitas belaka.

Belakangan konsorsium mengalami perkembangan yang semula hanya sebagai penyederhanaan presentasi kini dimodifikasi sekaligus sebagai forum kajian beberapa materi-materi yang berdekatan dan dipimpin seorang "senior". Misalnya materi Kithah I dan Tazkiyatun Nafs menjadi satu konsorsium, materi sejarah HMI dan PT Kemahasiswaan masuk dalam konsorsium yang lain. Pada akhirnya konsorsium mirip dengan sindikat materi yang sudah populer sejak tahun delapan puluhan. Masing-masing pimpinan konsorsium diberi wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan yang bersifat pengembangan materi dan pembinaan anggota kelompoknya. Namun seperti juga sindikat, pelaksanaannnya sangat ditentukan oleh dedikasi masing-masing pimpinannya. Terjadilah ketimpangan antar konsorsium.

Konsorsium sebagai penyederhanaan presentasi berlangsung hanya dua atau tiga kali untuk selanjutnya macet sama sekali. Dilihat dari segi jumlah peserta yang menjalani pengujian pun sangat jauh dari yang diharapkan. Hipotesa bahwa macetnya presentasi disebabkan ketiadaan waktu membuat makalah bagi anggota Korp tidak terbukti. Nampaknya ada faktor lain yang lebih bersifat psikologis ketimbang teknis yang menyebabkan upaya-upaya formal menjaga kualitas pengader gagal. Jika hal ini benar maka solusinya lebih komplek dari sekedar sikap kompromis dengan melakukan penyederhanaan institusi.

Selain teknis, perubahan presentasi menjadi konsorsium diiringi dengan penyederhanaan predikat kelulusan. Pada Presentasi hanya ada dua kemungkinan bagi peserta ujian yaitu lulus atau tidak lulus. Sedangkan konsorsium dikembangkan menjadi tiga kemungkinan yaitu lulus, panel dan magang.

Anggota Korp yang lulus uji di konsorsium diberi wewenang penuh untuk menjadi penyampai kajian di LK I untuk materi yang telah diujikan. Jika prestasi ujiannya baik tetapi belum memadai menjadi penyampai kajian ia diberi kescmpatan sebagai pane/is, menjadi penyampai kajian didampingi seniornya yang ditunjuk pengurus sampai ia dinilai benar-benar layak terbang. Sebaliknya jika prestasi ujiannya buruk yang bersangkutan tetap diberi kesempatan beberapa kali magang kepada penyampai kajian senior. Mekanisme permagangan diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan kedua pihak. Belakangan banyak anggota Korp yang berpanelria dan bermagangria tanpa melalui konsorsium. Lebih parah lagi beberapa diantaranya tidak mau melalui segala tetek bengek pengujian dan langsung menjadi penyampai kajian segera setalah magang kepemanduannya habis. Hal ini biasanya dilakukan oleh mereka yang menjadi Kabid di Cabang atau orang­-orang yang kebetulan punya kedekatan khusus dengan bidang latihan. Kenyataan seperti ini menimbulkan kecemburuan tersendiri bagi anggota Korp lainnya. Lalu bagaimana dengan standar kualitasnya? Tidakkah kenyataan ini menunjukkan bahwa terjadi krisis kepercayaan diri pada anggota Korp? Kalau mereka punya kemampuan, mengapa harus takut diuji?

Pertengahan tahun 1995 muncul istilah baru dalam khasanah perkaderan HMI, yaitu suhu suatu istilah yang biasanya dipergunakan di dunia olah kanuragan untuk menyebut guru. Oalam hal ini pengurus Korp menunjuk beberapa empu materi-materi LK I, untuk menjadi suhu bagi anggota Korp yang akan mengambil materi yang dikuasainya. Dengan demikian ada suhu materi Akidah, suhu materi sejarah HMI, suhu logika dll. Setiap suhu diberi wewenang untuk menentukan layak tidaknya seseorang menjadi penyampai kajian. lnteraksi persuhuan sangat informal. Demikian pula dengan sistem penilaiannya.

Terlepas dari diskurus tentang kelebihan dan kelemahannya, model baru ini masih perlu dimatangkan konsep dan mekanisme pelaksanaannya. Misalnya kriteria apa yang digunakan untuk mengangkat suhu? Apakah kesenioran?, kepopuleran?, Kedekatannya dengan pengurus? Apakah moralitas dan ketawadluan termasuk faktor yang turut dipertimbang­kan? Siapa yang berwenang mengangkat suhu? Apakah sepenuhnya wewenang pengurus Korp ? Ataukah dipilih secara demokratis? Sejauh mana wewenang yang dimilikinya? Dan sampai kapan amanah tersebut dipegangnya?

Kalau dicermati, sindikat yang dilaksanakan sejak tahun delapan puluhan hanya bersifat pengembangan dan pembinaan, sebaliknya presentasi hanya rekruitmen dan pengujian. Kelebihan konsorsium (setelah dimodifikasi) dan persuhuan, keduanya menggabungkan unsur pengembangan, pembinaan dan rekruitmen. Hanya saja kedua konsep terakhir muncul dari ketidakberdayaan menegakkan konsep-konsep sebelumnya. Jika alur ini diteruskan maka bukan peningkatan kualitas yang akan kita capai tetapi sebaliknya Korp pcngader akan mengalami degradasi besar-besaran. Entah sosok pengader seperti apa yang akan hadir dari konsep-konsep kompromis (ER).

Catatan Akhir

1. Ketidak telitian juga terlihat dari kesalahan pengambilan ayat dan pasal rujukan ART untuk Pedoman Korp Pengader. Bandingkan nomor pasal ART yang membahas lembaga khusus dengan pasal-pasal ART yang dijadikan rujukkan Pedoman Korp Pengader. Pedoman Korp menyebutkan pasal yang dijadikan rujukan keberadaannya adalah pasal 48a, 48b dan 48c jo 50 b ART. Padahal kalau kita periksa seharusnya pasal 49 - 52. Sementara pasal 48a, 48b dan 48c membahas tentang MSO.
2. Sampai saat ini Korp Pengader hanya ada di tingkat cabang sehingga disebut Korp Pengader Cabang. Sebenarnya sudah lama disadari pentingnya kehadiran Korp di tingkat nasional. Pernah terjadi perdebatan antara Anton Mulyatno dengan Masyhudi Muqorabin (waktu itu masih menjabat sebagai Ketua PB dan anggota Team Perumus hasil Lokakarya Perkaderan 1992) tentang pasal Korp Pengader tingkat nasional. Anton berpendapat bahwa pasal itu perlu dicantumkan meski saat ini kenyataannya KP nasional itu belum ada. Pencantuman ini penting untuk memberi peluang pembentukannya di masa depan. Sebaliknya mas Masyhudi berpendirian karena kenyataannya tidak ada maka tidak perlu diatur dalam pasal tersendiri. Hasil akhir perdebatan ini, pendapat Masyhudi inilah yang disyahkan.

Diambil dari buku “Mengenal Dapur HMI
(Beberapa Catatan Kecil)” Mei 2001


Ingat Dua Sebelum Datang “Dua”

Posted On 1:14 PM by Pengader Online 0 comments

Syafinuddin Al Mandari

Sebuah tulisan yang dibuat sebagai catatan khusus Buat PB HMI Hasil Kongres HMI ke-25 di Palu 2005, oleh seorang mantan Ketua Umum PB HMI periode 2001-2003. sekarang beliau adalah Peserta Program Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, tinggal di Bekasi. Tulisan yang dibuat pada 16 Agustus 2005 berisi tentang sentilan hangat terhadap perkaderan HMI

Catatan: Kalau saya menyebut HMI di sini, maka yang saya maksud adalah HMI-MPO. Organisasi apakah HMI itu? Terserah jawaban apa yang diinginkan. HMI dapat disebut sebagai salah satu komponennya harakah Islamiyah (gerakan keislaman) karena ia didirikan dari napas cita-cita keislaman. Ia juga adalah organisasi modern karena sudah mengenal struktur dan manajemen sebagai landasan kerja operasionalnya. Tapi bisa juga disebut sebagai “paguyuban” jika melihat nuansa kekeluargaan yang mengisi kesadaran kader-kadernya. Untuk kategori pengabdian sosial, jelas ia adalah organisasi nirlaba. Ia bukan organisasi politik tapi suatu institusi sosial, meski –sadar atau tidak– memiliki kekuatan politik. Ia adalah organisasi kepemudaan karena menghimpun kaum muda.

Saya tertarik mengambil 2 kategori di atas; organisasi gerakan Islam dan organisasi sosial. Sebagai gerakan Islam tumpuan paling besar bagi terjaminnya masa depan HMI adalah hidupnya perkaderan yang immune terhadap tantangan zaman. Immune? Ya, immune, artinya kebal atau punya daya tahan terhadap gangguan apapun.

Dalam 20 tahun terakhir, HMI memperlihatkan performa kader yang sedikit agak rentan dengan perubahan eksternal. Ambil contoh: militansi untuk membudayakan nilai-nilai Islam. Pada tahun 1991 ketika saya mengikuti Maperca (Masa Perkenalan Calon Anggota) hingga LK II (Intermediate Training) tahun 1993, pembudayaan nilai-nilai Islam (yang dianggap berbeda dengan tampilan budayanya kaum kebanyakan di masyarakat), masih sangat dibanggakan. Hijab antara ikhwan dan akhwat masih dijunjung tinggi sebagai budaya yang ingin diperkenalkan ke masyarakat ramai. Kalau mau pilih Ketua Umum, di jenjang mana pun, tak ada yang memberlakukan demokrasi murni: voting, one man one vote.

Mulai tahun 2001, Kongres HMI bikin perubahan. Ia memberlakukan sistem pemungutan suara. Akibatnya, sudah jelas kentara siapa yang akan terpilih. Siapa dapat dukungan paling banyak, otomatis jadi ketua. Dulu tidak, karena ini rawan tawar-menawar politik. Dulu, ada namanya musyawarah terbatas beberapa orang meraih suara 5 besar, atas 3 besar. Merekalah yang bermusyawarah untuk menunjuk siapa di antaranya yang akan jadi ketua. Saya khawatir, ini akan menjadi ancang-ancang bagi HMI untuk mencoba-coba money politics kecil-kecilan. Sekarang belum, tapi siapa tahu nanti?

Mengapa fenomena tadi terjadi? Saya menduga karena derasnya wacana dekonstruksi dan liberalisasi pemikiran di luar. Ini terasa sekitar tahun 1992–1993. Gayung bersambut dengan sifat kader-kader yang amat reseptif terhadap wacana apapun. Wacana dekonstruksi pun merambah ke perkaderan HMI. Laksana anak-anak yang mendapat mainan baru, HMI dengan asyiknya “menanggalkan” satu demi satu doktrin perkaderannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan mainan baru bernama liberalisasi wacana itu. Syukurlah HMI terlalu berani, tapi dalam kondisi tak immune, wacana dekonstruksi pun lewat. Kader-kader HMI ketinggalan sambil mengurusi proses perombakan serius yang tak kunjung selesai di organisasi ini.

Dalam perkara inilah saya berpendapat bahwa PB HMI mendatang perlu lebih menempatkan perkaderan sebagai agenda prioritas. HMI tak perlu alergi dengan usaha-usaha untuk kembali menyamakan doktrin yang dulu pernah sama. Satu doktrin, satu gerakan. Saya rada kurang setuju untuk menganekaragamkan doktrin akibat perbedaan wilayah dan budaya. Menurut saya, yang boleh beda adalah teknis training itu pun tak harus latah untuk beragam, jika ternyata penyeragaman lebih produktif. Jika tidak, bukan tidak mungkin HMI akan linglung dan “keder” menghadapi belantara masa depannya.

Hal kedua, dari judul di atas, adalah kemandirian dan sifat enterpreunership. Sebagai organisasi sosial, HMI harus sadar bahwa program-programnya adalah kerjaan yang tak produktif secara finansial. Sumber dananya? Jangan tanya! Tentu tidak lahir dari kerjaan utamanya. Oleh sebab itu, perlu pemikiran untuk meletakkan landasan bagi terbentuknya lembaga sayap yang bisa menghidupi gerakan ini. Di sini, HMI juga tak boleh alergi dengan kontak antar lembaga yang tak sevisi sekali pun, demi bertarung di dunia produktif. Manakala HMI gagal mengantisipasi hal ini, maka gerakannya akan tetap ibarat siput yang menantang balapan lari melawan kuda Manado.


Simpulan
Jadi, mau apa? Usul saya, pertama, lembaga perkaderan memiliki poros hingga ke tingkat nasional. Kalau di cabang-cabang ada KPC (Korps Pengader cabang), maka di tingkat nasional ada KPN (Korps Pengader Nasional). Kedua, pelembagaan kegiatan enterpreneurship atau kewirausahaan. Bentuk sistemnya! Bentuklah lembaganya, rumuskanlah perkaderannya (baca : pelatihannya), bangunlah jaringan kerjanya, jajakilah peluang-peluang ekonomisnya. Jangan lupa, lahirkanlah petarungnya. Petarung yang sudah berjiwa HMI, pemilik loyalitas kelembagaan nan tak kunjung luntur.

Dua hal ini sebetulnya saling melengkapi. Kader yang immune yang tak produktif tak akan punya ruang gerak yang luas. Lihatlah fenomena kader yang tak bisa berangkat kongres. Nah lo, nah looo. Tapi kader produktif pun tak bisa memberi kontribusi apa-apa jika sebelumnya tak immune dari pengaruh materialistik, kesilauan akan bermewah-mewah. Individualistis. Duitnya miliknya sendiri, tak perlu disumbangkan sebagian untuk kepentingan bersama.

Akan lebih baik jika; perkaderan HMI sanggup melahirkan kader-kader Islam yang immune dari pengaruh ideologi lain; individualisme, konsumerisme, fatalisme, dan sebagainya, yang dapat memotivasi gerakan produktif. Dengan cara ini HMI dapat berkata : Sunduquna, Juyubuna (Kas kami ada di kantong kami sendiri).

Ingat dua, sebelum datang dua. Ingat perkaderan sebelum datang per-”keder”-an. Ingat kemandirian sebelum datang kesendirian.

Dan hanya Dialah Yang Maha Tahu.